Langsung ke konten utama

Mimpi indah, Arum (Cerpen)

Bau harum yang menenangkan, deretan rak buku yang menjulang tinggi memanjakan mata para pengunjungnya. Beberapa orang terlihat berlalu lalang membawa buku pilihannya, beberapa juga sudah tenggelam dalam bacaannya, satu dua orang terlihat masih mencari buku untuk di baca. Sedangkan beberapa lainnya tengah berdiskusi santai.

 Seorang wanita tersenyum puas saat menyaksikan itu semua. Pemandangan yang menyenangkan, batinnya. Setelah agak lama, wanita itu beranjak menuju aula untuk melakukan wawancara mengenai backround perpustakaan. Ruangan sudah tampak rapih dengan beberapa cameraman. Wanita tersebut menarik nafas panjang dan kemudian berjalan anggun ke tempat yang di sediakan. 

"Bisa kita mulai sekarang bu?" Tanya host wawancara. 

Wanita tersebut mengangguk di sertai dengan senyuman tipis di wajahnya. 

"Selamat siang semuanya, hari ini kami bersama dengan ibu Salma, pendiri perpustakaan Cahaya Kota." Ucap sang host acara tersebut. "Selamat siang ibu Salma." 

"Selamat siang semuanya." Jawab Salma dengan raut ceria.

"Okeh, aku ceritakan sedikit ya tentang ibu Salma, beliau ini merupakan pendiri dari komunitas Taman Baca, dan juga pendiri perpustakaan swasta Cahaya Kota. Wah keren yah ibu Salma." Ucap sang host acara. 

Salma tertawa kecil, kemudian menanggapi. "Berlebihan nih mbaknya." 

"Enggak dong, kan bener apa yang saya bilang. Ibu Salma ini sosok inspiratif banget buat kalangan anak muda sekarang, kalo boleh, maukah Ibu berbagi cerita ke kami awal mula membuat komunitas dan perpustakaan ini." 

"Ibu Salma?" 

Salma tanpa sadar meremas mickrofon dengan erat, matanya mulai berkaca-kaca. "Maaf, saya sedikit cerita dulu boleh mbak?" 

"Tentu saja ibu." 

"Dulu, saya bukanlah orang yang gemar membaca, bahkan menyentuh buku bacaan saja saya malas. Mungkin beberapa dari kalian tahu Ibu saya merupakan seorang jurnalis, yang gemar membaca. Tapi itu tidak lekas membuat saya menyukai apa yang beliau sukai, sampai akhirnya saya bertemu seorang teman yang merubah pandangan saya tentang membaca." Wajah Salma tanpak sedikit muram. "Namanya Arum, dan bersama Arum saya mulai merasakan cinta pada membaca." 

°○○○○○°

"Sal cepetan siap-siap ini udah siang, nanti keburu di tungguin." Teriak seorang wanita. 

Salma kecil mendengus malas, ia mengambil tasnya dan segera masuk ke dalam mobil yang sudah penuh tumpukan buku. Inilah kegiatan ibunya setiap akhir bulan, mengunjungi panti asuhan.

"Itu bukunya bagus-bagus loh sal, coba kamu baca." Ujar sang Ibu yang duduk di depan, samping supir keluarga. Sedangkan salma harus bersabar dengan tumpukan buku tak jelas. 

"No, i'm not interested in reading books." Jawab Salma, memandang luar kaca mobil. Ya, walaupun ibunya seorang jurnalis yang gemar sekali membaca, bahkan mempunyai perpustakaan khusus di rumah, tapi Salma tidak tertarik. Sedari kecil ia mengikuti hobi ayahnya yaitu bermain musik. Menurutnya membaca adalah hal yang membosankan, tidak ada yang menarik dari tulisan-tulisan itu, lebih baik menonton film saja. Begitu sampai di panti, Salma memisahkan diri dari ibunya, gadis berusia 14 tahun itu duduk di taman dan fokus melihat vidio musik di handphonnya. 

"Suasana pun merubah, kepergian matahari membuat gelap seisi kota. Mickie memandang takut sekelilingnya, ia meraba-raba mencari ayah dan ibunya. Hari ini adalah kali pertama ia melihat siklus pergantian matahari."

Fokus Salma pecah, ia menoleh kebelakang, terlihat seorang gadis seusianya tengah di kerumuni anak-anak kecil. Kini perhatian Salma teralihkan, walau sedikit enggan mengakuinya tapi ia menikmati apa yang gadis itu ceritakan pada anak-anak kecil tersebut. 

"Gimana bagus yah ceritanya?" 

Salma membuka matanya, tertegun, menoleh dengan wajah pias. "Emang siapa yang dengerin kamu lagi baca buku." Jawabnya sewot. 

Arum tersenyum tipis. "Iya deh." Ia kemudian mengulurkan tangannya ke depan Salma. "Kenalin aku Arum." 

Salma memandang tangan tersebut lama, kemudian menjabatnya. "Aku Salma." 

"Salam kenal Salma." 

°○○○○○°

Hari berlalu begitu cepat, pertemuan awal Salma dan Arum menumbuhkan tali pertemanan di antara mereka. Bahkan kadang seminggu sekali Salma akan main ke panti hanya untuk menemui Arum. Tetapi hal tersebut sudah jarang dilakukan, karena sekarang mereka bersekolah di tempat yang sama.

"Hari minggu besok aku mau daftar camp sukarelawan." Ujar Arum sambil meminum es teh. 

"Tiba-tiba banget, ngapain sih ikut kayak gitu." Jawab Salma, sambil memakan bekalnya. 

"Pengin membantu anak-anak yang enggak ngerasain pendidikan layak, kek pasti seru tuh, ngajarin mereka membaca, menulis, bacain mereka buku." Arum tersenyum dengan muka berseri-seri. "Kamu mau ikut enggak?" 

"Males, tapi coba deh nanti aku pikir lagi." Jawab Salma. "Kamu mau pinjem novel aku gak?" 

"Kamu beli novel lagi?" 

"Iya, beli beberapa kemaren." Jawab Salma bersemangat, ia bergeser untuk lebih dekat dengan Arum. Dan menunjukan foto novel yang ada di handphonenya. 

Arum tertegun, Empat diantara novel yang dibeli Salma adalah novel yang diincarnya, namun karena tidak ada uang ia belum bisa membelinya. Arum sedikit ragu Salma akan membaca novel tersebut, lantaran temanya sedikit berat. "Kamu lagi baca yang mana?" 

Salma tersenyum lebar. "Yang ini," ia menunjuk sebuah buku yang sangat kontras dengan novel lainnya sebuah komik doraemon. 

"Hadeh," 

"Lagian yang lainnya bikin ngantuk pas baca." Ujar Salma jujur. "Kok kamu suka sih baca begituan." 

"Karena banyak hal yang bisa di jadikan pembelajaran, dan itu lebih mudah di pahami karena di balut dengan kisah yang menarik." 

"Halah sama aja, lagian enggak bikin pinter juga." 

"Itu karena bacaan kamu masih komik sal." Bantah Arum tak terima, karena menurut dia semakin banyak kamu membaca buku, maka semakin kamu percaya bahwa banyak hal yang tidak kamu ketahui. "Besok aku pinjam yang Filosofi teras." Tambahnya.

"Ya besok tak bawa." Lirih Salma. 

Kadang Salma merasa heran, kok Arum bisa membaca segitu banyaknya buku tanpa rasa bosan, apalagi buku yang di baca Arum bukan hanya novel belaka, kadang buku self improvement atau buku-buku filsafat. Padahal menurutnya lebih enak membaca komik dan novel-novel romance. Itupun sudah menjadi kemajuan pesat untuk dirinya yang tidak suka membaca buku.

Memang pertemuannya dengan Arum membawa banyak perubahan di hidup Salma, dari Arum ia sadar akan betapa pentingnya pendidikan, betapa pentingnya menghabiskan masa muda untuk belajar dan mencoba banyak hal. Hari-hari setelah berteman dengan Arum, Salma semakin rajin belajar, ia memberanikan diri mengikuti perlombaan musik, dan terkadang di hari libur mereka akan mengajari anak-anak di panti untuk membaca dan menulis. 

Walau awalnya ia merasa tak yakin, tapi lama-lama ia mulai terbiasa dan senang melakukan hal itu. Baginya mengajar orang lain adalah bentuk ia mengasah kemampuan diri sendiri, ia jadi bisa berfikir kritis, memahami orang lain, dan juga belajar mengontrol emosi di depan orang lain. 

Dari membaca buku, membuatnya semakin peka dalam melihat keadaan di sekitar, memaksanya untuk tidak melihat masalah hanya dari sudut pandangnya saja. Dan Arum adalah pelopor, dari banyak hal yang ia syukuri sekarang. 

°○○○○○°

"Wah, wah menarik sekali kisah bu salma ini." Ujar sang host, ia terlihat memperbaiki posisinya. 

"Lantas, sekarang bagaimana hubungan bu salma dan Arum? Dan siapakan sebenarnya Arum ini?" 

Salma tersenyum tipis, ia menerawang ke depan. "Arum itu seseorang berharga dalam hidup saya, ia ibarat kakak saya, walau umur kita sama tapi sikap dan sifat dia selalu bisa mengayomi saya. Dia seseorang yang penuh semangat jika sudah menyangkut literasi, dan dia punya banyak mimpi untuk merubah pola pikir bangsa indonesia." 

"Arum selalu berkata kepada saya dulu, sewaktu saya masih malas untuk membaca. 'Ayolah kamu coba baca ini, bagus kok, kamu hanya perlu terbiasa untuk membaca sal' dulu dengan ragu saya membaca buku itu hanya selembar, lantas besoknya lagi di saat handphone saya di charger saya iseng membacanya, hingga akhirnya selesai membaca buku tersebut." 

"Itu adalah langkah awal saya suka membaca, istilahnya gini, kalian bukan tidak suka membaca tetapi kalian perlu sedikit berusaha mencari buku yang bisa membuat kalian jatuh cinta kepada membaca. Dan membaca itu penting teman-teman karena membaca adalah pintu untuk meningkatkan kemampuan berfikir kritis." 

"Lantas apa sih alasan saya membuat perpustakaan ini, yang pertama tentu jelas karena ingin merubah generasi bangsa, karena sebenernya indeks baca masyarakat kita tidak serendah itu, banyak loh kalangan anak muda yang gemar membaca. Hanya saja akses terhadap buku bacaan masih belum terpenuhi." 

"Lalu yang kedua," Salma menunduk, kemudian menatap kamera dengan mata merah. "Itu karena Arum, karena saya ingin menunjukan ke Arum bahwa mimpinya bisa terwujud." 

"Lantas dimana Arum sekarang, bu Salma?" 

"Dia, ada di tempat yang indah, mungkin dia sedang melihat kita dari sana." 

°○○○○○°

"Aduh panas banget rum," Salma mengeluh sambil mengibas-ngibaskan rambutnya. 

Arum tak menghiraukan ucapan Salma, ia terpana dengan pemandangan di depannya. Saat ini mereka berada di pesisir pantai, tentu saja karena akhirnya Salma setuju untuk ikut camp sukarelawan. Di depannya terlihat rumah-rumah dari rotan bambu, sedangkan dari kejauhan terdengar suara ombak bersautan. 

"Semuanya harap segera kumpul dulu, ayok-ayok sudah siang." Ujar ketua panitia camp, mengondisikan anak-anak yang mulai rusuh.

"Baik, setelah ini nanti kalian langsung ke posko masing-masing yang informasinya udah kakak kirim kemaren, setelah itu nanti pukul 15.00 kita mulai kegiatan kita."

"Baik kak" 

Arum menggendong tasnya, menatap Salma riang. "Ayok, kita jelajahi wilayah sekitar sini." 

Hanya dengan mendengarnya saja Salma sudah malas. "Kenapa coba kemaren aku mutusin buat ikut." Gumamnya pelan, mengikuti Arum dari belakang. Setelah jalan-jalan santai mengelilingi wilayah itu mereka langsung pergi ke rumah gubuk yang di jadikan tempat belajar anak-anak kecil. 

"Wah, lucu-lucu banget," Ujar Salma riang, ia menjadi bersemangat. 

"Hallo semuanya selamat sore." Sapa ketua camp mereka. 

"Sore kak." Anak-anak menjawab dengan penuh semangat, mereka terlihat sangat antusias.

"Wah semangat banget nih kalian, pastinya enggak sabar buat belajar sama kakak yah?" 

"Iyaaaa." 

Setelah sesi perkenalan yang singkat, mereka kemudian membagi kelompok, ada yang mengajari membaca, ada yang menulis, menggambar, dan beberapa kemampuan dasar. Sedangkan Salma dan Arum mendapat tugas mengajari membaca.

°○○○○○°

Di kamar Salma duduk termenung, menatap Arum yang sedang memilih buku untuk di berikan pada anak-anak. Disini tidak ada sinyal, jadi Salma hanya berdiam diri tanpa kegiatan. "Rum," 

"Kenapa?" 

"Cita-cita kamu jadi apa?" 

"Enggak tau, cuman pengin jadi orang yang bermanfaat aja." Jawab Arum, kemudian memandang Salma. "Aku enggak tau ini cita-cita atau bukan tapi aku ingin merubah generasi selanjutnya, aku ingin membuat perpustakaan yang besar, biar orang-orang bisa baca buku sepuasnya, aku juga ingin buat perpustakaan keliling, biar orang-orang di pedalaman juga bisa membaca." 

Arum menatap tembok kamar mereka, menerawang ke depan. "Aku ingin setiap anak bisa merasakan kebebasan untuk membaca buku, tanpa takut di marahi orang tua mereka karena menghabiskan uang untuk membeli buku dan tanpa takut di ejek orang lain."

"Kenapa sih lo sebegitu terobsesinya sama membaca." 

"Karena membaca itu penting dan aku sudah merasakan gimana susahnya aku untuk mencari buku bacaan sesuai yang aku mau. Aku bahkan kadang sebel tau, kenapa pemerintah enggak memperluas jangkauan perpustakaan di setiap daerah, padahal banyak anak muda yang suka membaca buku." 

"Aduh, pembahasannya buat aku ngantuk." 

"Yaudah, tidur aja sana." Salma mengangguk, bersiap untuk tidur. 

Hari-hari berlalu dengan cepat, kegiatan camp mereka berjalan dengan lancar, tersisa tinggal dua hari lagi mereka di sini. Namun hari ini cuaca terlihat tidak bersahabat, sedangkan anak-anak sedang bermain di tepi pantai, menghabiskan waktu bersama. 

"Kenapa Sal?" Arum tiba-tiba datang, berdiri di samping Salma yang melamun menatap anak-anak. 

"Enggak apa-ap-" Ucapan Salma terhenti, suasana berubah sedikit aneh, ia memandang Arum penuh tanda tanya. Ini aneh, tiba-tiba air laut surut dan persekian detik setelahnya terdengar suara gemuruh ombak keras, Salma masih belum bisa mencerna kenapa orang-orang berlarian panik memanggil nama satu sama lain. 

"Sal," Arum memanggil ragu, di depan mereka ombak besar datang, menjulang dengan tinggi, bergerak dengan cepat ke arah mereka. Tsunami, dalam sekejap suasana berubah menjadi menakutkan. "Ayok lari." Ujar Arum, menarik Salma yang masih terpaku. Namun karena jalanan licin, Salma terpeleset membuat Arum ikut berhenti. Di sisi lain gemuruh air terdengar semakin keras, memekakan telinga, ketakutan menyelimuti mereka. "Lari cepet!" Seru Arum. 

Salma tidak menjawab, karena di depannya ombak besar datang, menyeret badan Salma, menghantamkan tubuhnya dengan batang pohon atau mayat, semuanya terasa abstrak, Salma berusaha berenang namun kakinya tidak bisa di gerakan, dan semuanya menjadi gelap, yang Salma ingat tadi ia mencoba meraih tubuh Arum, sebelum akhirnya tubuhnya menghantam pohon kelapa.

°○○○○○°

Air mata Salma jatuh, mengalir di mukanya yang sedikit berkeriput, tragedi tahun itu menjadi luka yang seolah tidak pernah sembuh dalam hidupnya. "Dan ketika saya bangun, ketika saya membuka mata, tubuh Arum ada di depan saya, di atas batang pohon, menjuntai tak bernyawa." Ucap Salma sambil menahan sesak di dadanya, tangisnya pecah. "Arum, jika kamu melihat saya, tolong dengar, terimaksih karena telah membuat saya melangkah sejauh ini, lewat perpustakaan ini mimpi kamu terwujud, kamu berhasil memfasilitasi anak bangsa untuk membaca, kamu hebat, terimaksih sudah pernah hadir dalam hidupku." 



TAMAT 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

About you (Cerpen)

  Pagi itu, aku tengah duduk santai di dapur menemani ibu yang sedang membuat sarapan, sesekali aku membantu jika di suruh. Setelah kopi yang aku buat kini tinggal separuh gelas aku langsung beranjak ke teras depan, menyapu halaman rumah yang di penuhi dedaunan pohon mangga. Aku memang pecandu kopi, apalagi di tengah kegiatan sekolah, aku juga seorang penulis, ibaratnya kopi adalah setengah dari jiwaku. Begitu selesai menyapu ekor mataku melihat sebuah mobil silver masuk ke pekarangan rumah di samping, rumah yang selalu kosong dan hanya di kunjungi ketika lebaran tiba, tapi anehnya lebaran kemaren rumah itu juga tetap kosong. Dia yang aku tunggu ternyata tidak pulang. "Ragil pulang tuh kak," ucapan Ibu membuatku tertegun. Dia pulang? Rasanya tidak mungkin. Tapi beberapa menit setelahnya ucapanku terpatahkan begitu melihat sosoknya keluar dari mobil, menatapku dengan senyuman manis dan melambaikan tangan. Tubuhku kaku tak sanggup membalas lambaian itu, hanya bisa tersenyum...

Gerbang pondok

Cerpen - pertemuan Altha, Ian, dan Zaynal Gambar : pinterest H ari itu , Pondok pesantren Assalam ramai dengan para santri baru, padahal sudah lewat satu Minggu pemberangkatan para santri, namun masih saja banyak yang berdatangan telat.  Altha duduk santai di ruang keluarga dengan tenang, sibuk bermain game di handphone. Beberapa hari belakangan ia jarang keluar rumah karena malas bertemu dengan santri dari pondok kakeknya. Mereka selalu saja mencari permasalahan. "Altha, sini bantuin umi bentar." Teriak sang ibu dari dapur. Altha menoleh sebentar, lantas lanjut bermain game. "Bentar umi Altha lagi main game." "Altha sana bantuin umi, kasian ituloh lagi buat kue sendirian!" Sahut seseorang dari belakang Altha, menyambar handphone yang di pegang laki-laki itu. Altha menatap tajam Abahnya. "Abah ish, bentar lagi lah Altha lagi main game." Ujar Altha sedikit kesal. "Al, ibu kamu lagi minta bantuan ituloh. Masa kamu enggak mau bantuin, wah...

Cerpen - Istirahat Abah

  Aku merasa menjadi anak yang.... Entahlah sulit menjelaskannya. Bahkan untuk sebuah kabar atas kematian ayahku sendiri, aku tidak di beri tahu. Mereka bilang alasannya aku sedang ujian. Namun apakah tidak bisa begitu aku selesai ujian, mereka langsung mengabariku. Aku mendengar kabar itu dari orang lain, bukan ibuku, bukan juga keluargaku, tetapi dari orang lain. Jika saja hari itu aku tak pergi ke kantor Putri, dan malah memutuskan untuk makan. Entah sampai berapa lama mereka menyembunyikan itu dariku.  Sore itu, selepas mengaji klasikal di aula putra. Aku tidak langsung ke dapur untuk mengambil makan. Melainkan ke kantor Putri, meminjam hp untuk menelepon rumah. Jarak antara Jawa dan Lampung memanglah jauh, aku juga belum pernah pulang sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini.  "Abah sama ibu pasti bakalan bangga akhirnya aku lulus, taun besok bisa pulang deh" batinku dengan senang, senyum mengembang terlihat di wajah. Aku melangkah dengan hat...