Langsung ke konten utama

Cerpen - Istirahat Abah

 








Aku merasa menjadi anak yang.... Entahlah sulit menjelaskannya. Bahkan untuk sebuah kabar atas kematian ayahku sendiri, aku tidak di beri tahu. Mereka bilang alasannya aku sedang ujian. Namun apakah tidak bisa begitu aku selesai ujian, mereka langsung mengabariku. Aku mendengar kabar itu dari orang lain, bukan ibuku, bukan juga keluargaku, tetapi dari orang lain. Jika saja hari itu aku tak pergi ke kantor Putri, dan malah memutuskan untuk makan. Entah sampai berapa lama mereka menyembunyikan itu dariku. 

Sore itu, selepas mengaji klasikal di aula putra. Aku tidak langsung ke dapur untuk mengambil makan. Melainkan ke kantor Putri, meminjam hp untuk menelepon rumah. Jarak antara Jawa dan Lampung memanglah jauh, aku juga belum pernah pulang sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini. 

"Abah sama ibu pasti bakalan bangga akhirnya aku lulus, taun besok bisa pulang deh" batinku dengan senang, senyum mengembang terlihat di wajah. Aku melangkah dengan hati yang berdebar-debar. Tak sabar memberi tahu hasil ujianku.

"Assalamu-" salamku terhenti. Samar-samar aku mendengar namaku si sebut dari dalam. 

"Emang bener Mbak, Abahnya Zalfa meninggal" 

"Kata umi sih gitu, meninggalnya satu Minggu yang lalu" 

"innalillahiwainnailaihirojiun, tapi Zalfa kok kayaknya biasa aja yah" 

"Zalfa memang belum di kasih tau, sebelum meninggal Abahnya pesan. Jika ada sesuatu yang terjadi, jangan sampai mereka menggangu fokus Zalfa yang sedang ujian" 

"Semoga Zalfa kuat menerima cobaan ini" 

"Iya semog-" 

Bhreg

Mendengar itu lututku lemas, dadaku menahan sesak yang mendalam, pandanganku mengabur tertutupi cairan bening yang keluar dari mataku.

"Ab-hiks-ah hiks Abah.... Abah hiks" 

"Astagfirullah Zalfa" pekik kaget Mbak Santi dan Mbak umi. Orang yang tadi membicarakan tentang kematian Abahnya.

"Abah.... I-itu bohong kan Mbak, Abahnya Zalfa masih ada kan. Kalian cuma lagi bohongin Zalfa, iya kan" paraunya pada mereka.

"Abah kamu emang udah gak ada zal, maaf" ucap Mbak santi pelan.

"Bohong, Abah masih ada. Kemaren sebelum ujian aja Zalfa masih telfonan kok" bantahku cepat. 

"Abah kamu udah gak ada zal, sejak satu Minggu yang lalu, waktu kamu ujina Diniah" ucap Mbak umi memberi tahu.

Pandanganku kosong, pikiranku hanya tertuju pada Abah. Sebelum ujian hari itu, dengan senyum merekahnya Abah menyemangatiku lewat vc beliau bilang. "Kejarlah agamamu zal, jangan pikirkan keadaan Abah dan umi-mu disini" 

"Zalfa.... Istighfar, jangan kaya gini" 

"Zalfa mau nelfon umi Mbak" pintanya dengan suara yang parau.

"Nanti yah, sekarang kita sholat magrib dulu, do'ain yang terbaik buat Abahnya Zalfa, ikhalsin. Abis itu kita nelfon umi-nya Zalfa" ucap Mbak Santi pelan. Kerena memang sudah masuk waktu Magrib, para santri sudah berlalu lalang menuju mushola.

_^^^^_

Aku memutuskan untuk tetap sholat Maghrib berjamaah di mushola. Membaca tahlil dan juga Yasin untuk Abah. Aku memang belum sepenuhnya menerima kenyataan itu, yang pasti mereka tidak akan berbohong untuk hal begini.

"Yang sabar ya zal, aku tau kamu pasti kuat kok" ucap Ina, sahabat Zalfa.

"Iya, makasih" 

Selepas Maghrib aku menagih janji pada yang di berikan Mbak Santi dan Mbak umi, untuk menelepon rumah. Di dalam kantor sepi, hanya kita bertiga. Aku menekan panel telfon dengan sedikit gemetar, kondisiku saat ini cukup baik di bandingkan tadi sore. Berdering begitu tulisanya. Cukup lama, hampir memakan waktu sepuluh menit. Akhirnya terjawab.

"Assalamu'alaikum halo" 

"Wa'alaikum salam umi" jawabku pelan, menahan selaput bening yang hampir jatuh dari mata. 

"Gimana ujianya zal" jawabnya, suaranya terdengar gemetar. Juga ragu.

"A-abah mana umi?"

"Gimana zal, sinyalnya agak susah" 

Aku sangat yakin, itu hanya alibi umi. Untuk mengalihkan percakapan, aku tahu umi juga merasakan sakit yang sama, mungkin lebih dari yang aku rasakan. Tetapi ini tetap tidak adil. "Abah mana?" Suaraku sudah mulai terdengar parau.

"Zal um-"

"Abah mana umi" ucapku cepat, aku benar-benar ingin mendengar jawaban dari umi.

"Abah udah istirahat, kalau ada yang mau di omongin besok aja yah" 

"Bohong" bantahku cepat, air mataku kembali mengalir deras, dadaku juga kembali terasa sesak.

"A-apanya yang bohong?" Suara umi terdengar seperti menahan tangis. 

"Hiks.... Sampai kapan umi mau nutupin hiks ka-lau Abah u-da-h gak ada" bantahku cepat dengan tangis sesenggukan. 

"-----" 

"Jawab Zalfa umi" 

"Maafin umi zal hiks.... Maaf" tangis umi lolos, terdengar sangat jelas di telingaku. Aku langsung berpikiran untuk memesan tiket pulang ke Lampung, untuk masalah uang aku bisa menggunakan uang celengan yang aku tabung.

"Zalfa bakalan pulang besok, mau umi setuju atau gak. Zalfa bakalan tetep pulang" ucapku pelan, mematikan panggilan telepon itu sepihak. 

Zalfa langsung berlari menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Mengambil uang simpanannya, lalu bergegas ke kantor putra untuk meminta bantuan pengurus putra untuk mengurus segala keperluannya ke Lampung.

_^^^^_

Tiga hari aku menunggu dengan sabar. Dan saat ini aku tengah menatap kampung halamanku. Aku pulang memang menggunakan jalur penerbangan. Kata umi, jemputanku akan sampai pukul 10:05 dan sekarang baru pukul 09:50 masih ada 15 menit untuk menunggu jemputan. Mengingat aku belum makan sedari tadi pagi, aku memutuskan untuk membeli roti dan susu hangat di sebuah kedai.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya jemputanku sampai. Jarak bandara dengan rumahku memanglah jauh, hampir dua jam. 

"Cuma sendirian Mbak" tanya sang supir memecah keheningan.

"Iya mas" jawabku pendek, enggan berbicara. Umurku memang baru sembilan belas tahun, tapi aku cukup berani kalo hanya untuk bolak balik Jawa-Lampung.

Kepalaku menayangkan beberapa memori bahagia dengan Abah, sewaktu dulu. Aku yang selalu mengadu, aku yang tertawa lebar, juga aku yang menangis karena tidak mau mondok. Dan juga ucapan Abah yang selalu menyemangati-ku walau hanya lewat telepon.

Sampai aku tak sadar bahwa saat ini sudah sampai di desa Tempak kelahiranku. Umi terlihat tengah menunggu di depan teras dengan kedua kakak perempuan ku. Dengan menggendong tas yang lumayan besar, aku langsung lari ke pelukan umi. Hangat. Itulah yang kurasakan.

Aku menangis begitu kencang, melepaskan beban yang mengganjal. Beberapa menit hingga akhirnya lega. "Umi Zalfa pengin ngunjungin Abah" ucapku pelan. 

Umi mengangguk. "Ayok umi antar" 

Kami berdua menyusuri desa, menuju tempat pemakaman. Berhenti di depan gundukan tanah yang terlihat masih basah, dan baru. 

         Muhammad Rushydin 

           Bin

                 Bpk. Aryanto 

    Lahir: Lampung 15-07-1985

   Wafat: Lampung 08-11-2021

"A-abah" panggil pelan, dengan air mata yang mengucur deras. Aku menyetuh tanah yang terlihat masih basah. Mengusap nama yang tertera di batu nisan.

"Bah" panggil aku pelan. "Abah" suaraku tercekat. "Ab-abah" ucapku dengan penuh penyesalan. 

Umi dengan sabar mengusap punggungku. "ayok pulang, ikhlaskan Abah kamu" 

"Nanti umi" 

"Abah nulis surat, kamu gak pengin baca" 

"Mana?" 

"Ayok pulang, suratnya ada di kamar kamu" 

Sampai di rumah, aku bergegas menuju kamar. Mencari surat yang di maksud umi. 


Zalfa

Maafin Abah.... Yang sudah memaksa kami untuk mondok

Abah tau itu gak mudah, tapi yang Abah lakukan itu, untuk kebaikan kamu kedepanya

Abah seneng banget.... Waktu kamu bilang udah nyaman di pondok, gak mau pulang ke rumah. Juga keseruan kamu di sana.

Apalagi waktu kamu bilang mau ujian kelulusan. Abah ngerasa bangga banget sama kamu, juga sama diri Abah, dengan merelakan kamu untuk memperdalam agama.

SEPERTI YANG SELALU ABAH BILANG. SEMANGAT... JANGAN PERNAH MENYERAH PADA KEADAAN. KEJARLAH AGAMAMU JANGAN HIRAUKAN ABAH.


     Semangat terus putri

                                    Kesayangan Abah ^-^


Tamat 



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

About you (Cerpen)

  Pagi itu, aku tengah duduk santai di dapur menemani ibu yang sedang membuat sarapan, sesekali aku membantu jika di suruh. Setelah kopi yang aku buat kini tinggal separuh gelas aku langsung beranjak ke teras depan, menyapu halaman rumah yang di penuhi dedaunan pohon mangga. Aku memang pecandu kopi, apalagi di tengah kegiatan sekolah, aku juga seorang penulis, ibaratnya kopi adalah setengah dari jiwaku. Begitu selesai menyapu ekor mataku melihat sebuah mobil silver masuk ke pekarangan rumah di samping, rumah yang selalu kosong dan hanya di kunjungi ketika lebaran tiba, tapi anehnya lebaran kemaren rumah itu juga tetap kosong. Dia yang aku tunggu ternyata tidak pulang. "Ragil pulang tuh kak," ucapan Ibu membuatku tertegun. Dia pulang? Rasanya tidak mungkin. Tapi beberapa menit setelahnya ucapanku terpatahkan begitu melihat sosoknya keluar dari mobil, menatapku dengan senyuman manis dan melambaikan tangan. Tubuhku kaku tak sanggup membalas lambaian itu, hanya bisa tersenyum...

Gerbang pondok

Cerpen - pertemuan Altha, Ian, dan Zaynal Gambar : pinterest H ari itu , Pondok pesantren Assalam ramai dengan para santri baru, padahal sudah lewat satu Minggu pemberangkatan para santri, namun masih saja banyak yang berdatangan telat.  Altha duduk santai di ruang keluarga dengan tenang, sibuk bermain game di handphone. Beberapa hari belakangan ia jarang keluar rumah karena malas bertemu dengan santri dari pondok kakeknya. Mereka selalu saja mencari permasalahan. "Altha, sini bantuin umi bentar." Teriak sang ibu dari dapur. Altha menoleh sebentar, lantas lanjut bermain game. "Bentar umi Altha lagi main game." "Altha sana bantuin umi, kasian ituloh lagi buat kue sendirian!" Sahut seseorang dari belakang Altha, menyambar handphone yang di pegang laki-laki itu. Altha menatap tajam Abahnya. "Abah ish, bentar lagi lah Altha lagi main game." Ujar Altha sedikit kesal. "Al, ibu kamu lagi minta bantuan ituloh. Masa kamu enggak mau bantuin, wah...