Langsung ke konten utama

About you (Cerpen)

 

Pagi itu, aku tengah duduk santai di dapur menemani ibu yang sedang membuat sarapan, sesekali aku membantu jika di suruh. Setelah kopi yang aku buat kini tinggal separuh gelas aku langsung beranjak ke teras depan, menyapu halaman rumah yang di penuhi dedaunan pohon mangga.

Aku memang pecandu kopi, apalagi di tengah kegiatan sekolah, aku juga seorang penulis, ibaratnya kopi adalah setengah dari jiwaku.

Begitu selesai menyapu ekor mataku melihat sebuah mobil silver masuk ke pekarangan rumah di samping, rumah yang selalu kosong dan hanya di kunjungi ketika lebaran tiba, tapi anehnya lebaran kemaren rumah itu juga tetap kosong. Dia yang aku tunggu ternyata tidak pulang.

"Ragil pulang tuh kak," ucapan Ibu membuatku tertegun.

Dia pulang? Rasanya tidak mungkin. Tapi beberapa menit setelahnya ucapanku terpatahkan begitu melihat sosoknya keluar dari mobil, menatapku dengan senyuman manis dan melambaikan tangan. Tubuhku kaku tak sanggup membalas lambaian itu, hanya bisa tersenyum.

Dia terlihat mengambil sesuatu di mobil, lalu berlari ke arahku. Memeluku erat, dengan sedikit canggung aku balik memeluknya. "Kenapa muka kamu gitu?" Tanya dia terlihat heran, juga kesal.

"Kaget aja, aku kira tahun ini kamu enggak pulang," ucapku menyuarakan isi kepala. Melepaskan pelukannya, mengajaknya untuk duduk di teras.

"Maaf, niatnya aku emang enggak pulang tahun ini. Tapi tiba-tiba kepikiran kamu," ucap dia sambil menyengir lebar. Aku dan dia sudah bersahabat sejak kecil, dia lebih tua dua tahun dariku tapi aku selalu memanggil dia dengan namanya-Ragil. Sekarang dia tengah kuliah, aku dan dia juga hanya bisa bertemu satu tahun sekali, ini sudah terjadi selama tujuh tahun belakangan. Saat dia dan orang tuanya memutuskan pindah ke Jakarta.

"Deka, kamu mikirin apa? Kok malah ngelamun?" Kata Ragil sambil menatapku.

Aku menggeleng singkat, membuka masker yang sedari tadi menutupi wajahnya. "Lupa buka masker?"

Dia tertawa kecil. "Iya, tadi liat kamu lagi nyapu jadi aku langsung samperin deh." Jawabnya di iringi senyuman manis.

"Mana oleh-oleh aku?" Tanyaku sambil menyodorkan tangan.

"Aduh, lupa ka." Dia menepuk jidat.

"Gil," Aku merengek padanya, hal yang sudah biasa aku lakukan agar dia luluh.

Dia terkekeh pelan, membuat wajahnya semakin menawan. "Nih," dia mengulurkan tangannya, memberikan satu batang Silverqueen. Aku menghela nafas panjang, pasrah. "Cuma ini?!" Okeh aku mulai kesal.

Dia merespon dengan tawa. "Ish jelek banget muka kamu kalo lagi marah," ucap dia di sela tawanya. Aku hanya diam memperhatikan, tidak minat menanggapi ucapannya. Merasa tidak di respon dia menggenggam tanganku, menariknya ke arah depan rumah dia. "Ayok kita ambil hadiah buat tuyul satu ini."

"Dasar pentul!"

"Tuyul."

"Pentul, pentul, pentul."

"Dih tuyul berulah."

Aku dan dia memang mempunyai panggilan masa kecil tersendiri, dia kerap memanggilku tuyul karena aku memiliki tubuh mungil dan aku memanggilnya pentul karena saat kecil dia sangat menyukai permen pentol, dan jadilah panggilan tuyul dan pentul.

"Sekolah kamu lancar kan, awas aja kalo kamu ketahuan bolos sekolah." Ujar dia memperingati, aku sangat suka jika dia menunjukan perhatiannya padaku layaknya seorang kakak laki-laki. Aku anak kedua dari tiga bersaudara dan semuanya perempuan.

"Aku enggak pernah bolos Ragil, tanya aja deh sama ibu." Jawabku meyakinkan, membolos itu suatu pantangan bagiku dan aku juga tidak berniat melanggarnya.

Dia masuk ke dalam mobil, keluar dengan satu kardus berukuran sedang di tangannya. "Sesuai permintaan putri tuyul tahun kemaren," dia menunjukan kardus, tapi tidak membiarkan aku untuk mengambilnya.

"Siniin." Ujarku hendak mengambil alih.

"Berat. Biar aku aja yang bawa," ucap dia, matanya mengarahkan agar aku membuka penutup kardus. Dahiku mengernyit bingung, tapi tetap membuka penutup itu. "Aaaaa, makasih pentull" teriaku antusias, di dalam kardus itu terdapat tumpukan novel yang aku inginkan sedari dulu.

Dia tersenyum puas, mengangguk pelan. Satu tangannya membenarkan poniku yang menutupi wajah.

"Sama-sama tuyul."

↖🐣🐣🐣↗


Kini aku tengah di kamar membongkar kardus berisi novel yang Ragil berikan kepadaku. Dia juga di sini menemaniku, berbaring santai di kasur fokus dengan apa yang ada di layar handphonenya, sesekali tertawa dan tersenyum. Pintu kamar juga aku buka dengan lebar agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

"Puas gak Dek?" Tanya dia sambil menatapku dari arah kasur, melemparkan handphone nya asal.

Aku mengangguk singkat, sebagai jawaban. Tangan, mata, dan semua anggota tubuhku terfokus pada tumpukan Novel, ada lebih dari 15 Novel yang dia bawa saat pulang ke kampung. Dan kini rak bukuku sudah tidak dapat menampung lagi, mataku menelusuri penjuru kamar, mencari tempat.

"Taruh di kamar aku aja?" Celetuk dia memberi saran, kamar dia  memang sangat luas di banding kamarku.

Aku lagi-lagi mengangguk setuju. "Oke, tapi nanti setelah aku baca semuanya." Jawabku setuju, mendekap beberapa novel yang berhasil kuraih.

Dia mengangguk kemudian membuka baju kemeja kotak-kotak yang di kenakannya menyisakan kaos putih pendek. "Pengen makan Dek," ucapnya, sambil memperhatikanku yang tengah membuka plastik salah satu novel.

"Ambil sana di belakang." Jawabku cuek.

Dia beranjak dari tidurnya duduk di sebelah, tiba-tiba saja laki-laki itu memiting leherku membuat sedikit kesusahan mengambil nafas.

"Ih lepas." Teriak aku keras.

Dia melonggarkan tangannya, diam memperhatikan. "Makanya ayok," ucapnya lalu menarik tanganku untuk ke meja makan, mengambil makanan.

Aku memperhatikan dia makan, karena aku sudah sarapan tadi pagi. "Ragil pinjem handphone dong."

"Mau ngapain?"

"Boleh gak?"

"Ambil aja sana di kasur." Jawab dia santai, membiarkan aku mengambil handphonenya.

Aku sibuk melihat-lihat isi handphonenya, dari galeri sampai WhatsApp dengan gencar mencari kontak perempuan. "Kamu punya pacar?"

"Punya."

"Namanya siapa?" Tanyaku berniat mencari kontaknya, ingin melihat wajahnya seperti apa. Aku dan Ragil memang sudah saling terbuka soal pasangan. Dan hal yang sangat lumrah ketika pulang pasti aku akan menginterogasinya.

"Cantika, cari aja." Ujar dia terlihat santai, memasukan nasi ke dalam mulut.

Aku mengetikan nama tersebut di kontak pencarian, menekan kontak tersebut. Lantas mengernyit heran. "Dih apaan nih." Komentarku begitu melihat ada emot seragam dokter di belakang namanya.

Dia menarik handphone, menatapku sebentar, sebelum meletakkan handphonenya di saku celana. "Namanya Cantika, anak kedokteran." Ujar dia, sambil melanjutkan makan.

Aku memicingkan mata, merasa ada yang aneh. "Terus apa lagi?"

"Apa? Aku sama dia udah bareng satu tahun."

"Serius?" Aku sedikit tidak percaya, agak merasa kecewa mendengarnya, tapi juga senang. Tapi juga kesal, entahlah rasanya sulit menerima dia mempunyai orang lain.

"Iyalah, hidup aku tuh berwarna, enggak kayak kamu yang menjomblo terus." Balas dia, membawa piring ke wastafel.

"Dih." Seruku tidak terima.

↖🐣🐣🐣↗


Sore harinya dengan segala bujukan, aku memaksa dia untuk berjalan-jalan di lapangan desa, membeli beberapa jajanan. Tadinya dia menolak, tetapi dengan segala bujuk rayu akhirnya dia setuju, kini berjalan lesu di sampingku. 

"Ish yang semangat dong Gil, lagian jarang-jarang kan kita bisa jalan-jalan." Ucapku kesal, mempercepat langkah meninggalkan dia.

"Iya-iya, mau makan apa aku beliin deh." Ucap dia sambil menyamakan langkah mereka.

"Pengin itu, itu, itu, sama itu." Tunjukku ke beberapa pedangan yang terlihat sibuk melayani.

"Okeh kita beli, biar babang Ragil yang bayar."

Aku mengangguk antusias. Mengajak dia untuk duduk di bangku yang kosong. "Sebenernya kenapa kamu pulang?"

"Kenapa sih kamu tanya itu terus, aku cuma lagi pengin pulang aja." Jawab dia sambil menatap indahnya langit di sore hari, dengan anak kecil yang berlarian di sekitar.

"Kok aku gak percaya yah."

"Beneran dek, lagian kamu gak usah mikir aneh-aneh lah."

Aku menyenderkan kepala ke bahu dia, menatap lurus ke depan. "Intinya kalau ada waktu kamu harus nyempetin balik ke sini ya Gil, harus pokoknya."

Dia tersenyum tipis. "Siap cantik, belajar yang bener makanya biar besok bisa kuliah bareng aku. Jadi tiap hari bisa ketemu."

"Aku usahain biar bisa ketemu kamu terus Gil."

Di tengah keramaian, dengan banyaknya orang berlalu-lalang aku bersandar dengan nyaman di pelukan dia. Berharap waktu terus mempersatukan mereka apapun yang terjadi.

"Besok-besok aku enggak tau bisa nyempetin pulang lagi atau enggak." Ucap dia, mengelus rambutku pelan, nyaman rasanya.

"Kenapa? Enggak usah sok sibuk." Jawabku menanggapi ucapannya.

Dia membenarkan posisiku untuk duduk dengan benar, kehangatan itu hilang, kosong rasanya. Aku menatapnya datar, tapi dia menatapku lembut, membenarkan bajuku. "Tetep senyum ya, apapun yang terjadi." Ucap dia, membuatku mengernyit tak paham.

"Kok tiba-tiba gitu?"

Dia tersenyum makin lebar, kemudian kembali memelukku, kali ini lebih erat membuatku agak kesulitan bernafas. "Ragill."

"Gue selalu dukung lo dek, inget itu."


↗🐣🐣🐣↖

Aku menatap lesu papan tulis, mencoret-coret buku yang ada di meja. Sudah seminggu Aku dan Ragil berpisah, tapi sampai ini dia belum belum juga mengirim pesan. Aku mengambil handphone, membuka room chattku dengan dia, tidak ada perubahan, pesanku bahkan belum di baca.

Tidak biasanya dia seperti ini, sepulang sekolah aku pergi kerumah dia, masuk ke kamar untuk melihat-lihat novelku. Disana ada pembantu, karena sudah biasa dengan kehadiranku maka tidak ada yang perlu di cemaskan.

"Mba Deka mau minum apa?"

"Air dingin aja bi." Jawabku, tiduran di kasur, menatap langit-langit kamar. Sesekali aku melihat handphone menanti jawaban pesan dari dia, yang entah bagaimana kabarnya.

Hatiku terasa sedikit gelisah entah karena apa. Bibi masuk kedalam kamar, memberikanku air dingin. Tiba-tiba terdengar samar suara seperti jeritan nyaring dengan pola tertentu, mengulangi nada naik turun dengan ritme cepat. Denting sirene, terdengar kian makin keras dan tak lama memudar, di gantikan derap langkah tergesa-gesa.

"Bibi!"

Aku hafal suara itu, suara ibu Ragil. Buru-buru aku dan bibi keluar dari rumah, jantungku berdegup keras tanpa alasan yang jelas, sebuah mobil ambulan berhenti tepat di depan rumah. Tubuhku kaku, gelas yang sedari tadi aku genggam terlepas begitu saja, jatuh dan hancur berkeping-keping, seolah menggambarkan hatiku saat ini.

Tangisku pecah saat melihat petugas membawa tandu keluar dari mobil, tubuhku lemas, tak cukup kuat menompang tubuh ini. Bibi yang berada di dekatku buru-buru membantu. Mataku terpaku pada tubuh yang terbungkus kain putih. Samar-samar aku mendengar suara ibu, juga bisik-bisik orang lain yang mendekat ke sekitar rumah. Pandanganku mulai gelap, dunia ku seakan hancur. "Ragil." Lirihku pelan, sebelum kehilangan kesadaran.


TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gerbang pondok

Cerpen - pertemuan Altha, Ian, dan Zaynal Gambar : pinterest H ari itu , Pondok pesantren Assalam ramai dengan para santri baru, padahal sudah lewat satu Minggu pemberangkatan para santri, namun masih saja banyak yang berdatangan telat.  Altha duduk santai di ruang keluarga dengan tenang, sibuk bermain game di handphone. Beberapa hari belakangan ia jarang keluar rumah karena malas bertemu dengan santri dari pondok kakeknya. Mereka selalu saja mencari permasalahan. "Altha, sini bantuin umi bentar." Teriak sang ibu dari dapur. Altha menoleh sebentar, lantas lanjut bermain game. "Bentar umi Altha lagi main game." "Altha sana bantuin umi, kasian ituloh lagi buat kue sendirian!" Sahut seseorang dari belakang Altha, menyambar handphone yang di pegang laki-laki itu. Altha menatap tajam Abahnya. "Abah ish, bentar lagi lah Altha lagi main game." Ujar Altha sedikit kesal. "Al, ibu kamu lagi minta bantuan ituloh. Masa kamu enggak mau bantuin, wah...

Cerpen - Istirahat Abah

  Aku merasa menjadi anak yang.... Entahlah sulit menjelaskannya. Bahkan untuk sebuah kabar atas kematian ayahku sendiri, aku tidak di beri tahu. Mereka bilang alasannya aku sedang ujian. Namun apakah tidak bisa begitu aku selesai ujian, mereka langsung mengabariku. Aku mendengar kabar itu dari orang lain, bukan ibuku, bukan juga keluargaku, tetapi dari orang lain. Jika saja hari itu aku tak pergi ke kantor Putri, dan malah memutuskan untuk makan. Entah sampai berapa lama mereka menyembunyikan itu dariku.  Sore itu, selepas mengaji klasikal di aula putra. Aku tidak langsung ke dapur untuk mengambil makan. Melainkan ke kantor Putri, meminjam hp untuk menelepon rumah. Jarak antara Jawa dan Lampung memanglah jauh, aku juga belum pernah pulang sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini.  "Abah sama ibu pasti bakalan bangga akhirnya aku lulus, taun besok bisa pulang deh" batinku dengan senang, senyum mengembang terlihat di wajah. Aku melangkah dengan hat...