Langsung ke konten utama

Gerbang pondok

Cerpen - pertemuan Altha, Ian, dan Zaynal



Gambar : pinterest


Hari itu, Pondok pesantren Assalam ramai dengan para santri baru, padahal sudah lewat satu Minggu pemberangkatan para santri, namun masih saja banyak yang berdatangan telat. 

Altha duduk santai di ruang keluarga dengan tenang, sibuk bermain game di handphone. Beberapa hari belakangan ia jarang keluar rumah karena malas bertemu dengan santri dari pondok kakeknya. Mereka selalu saja mencari permasalahan.

"Altha, sini bantuin umi bentar." Teriak sang ibu dari dapur.

Altha menoleh sebentar, lantas lanjut bermain game. "Bentar umi Altha lagi main game."

"Altha sana bantuin umi, kasian ituloh lagi buat kue sendirian!" Sahut seseorang dari belakang Altha, menyambar handphone yang di pegang laki-laki itu.

Altha menatap tajam Abahnya. "Abah ish, bentar lagi lah Altha lagi main game." Ujar Altha sedikit kesal.

"Al, ibu kamu lagi minta bantuan ituloh. Masa kamu enggak mau bantuin, wah durhaka sekali putra Abah ini."

Altha mengangguk kecil, sedikit tidak rela membiarkan handphonenya di pegang sang Abah. "Iya Abah ini Altha langsung ke dapur buat bantuin Umi."

Altha berlari kecil ke arah dapur, melihat banyaknya kue di meja ia langsung mencomot dan memakannya. "Altha harus ngapain Umi?"

"Hadeh, do'ain umi punya kesabaran ekstra ya Al buat ngadepin tingkah nakal kamu." Ujar umi dengan pasrah, ia begitu heran dengan sifat anaknya yang selalu membuat masalah itu.

"Aamiin umi." Jawab Altha singkat. "Terus ini Altha di suruh ngapain?"

Umi Fadhilah terlihat mengambil sesuatu di samping kulkas, lalu memberikannya ke Altha. "Anterin ke ndalem sana." Ujar umi sambil memberikan keresek berisi box-box sedang.

"Suruh kang Hamdan ajalah umi, Altha males ke sana." Ucap Altha menolak.

"Al kamu ini sebenarnya anak siapa sih, kok bisa sifatnya beda sendiri. Tinggal bawa ini ke ndalem doang apa susahnya?!"

"Tap-i."

"Gak ada tapi-tapian, cepet sana sekalian bantuin di ndalem Mbah. Toh lambat laun kamu juga bakalan tinggal di sana Al." Ujar umi sambil menatap Altha tajam.

"Nggih umi Altha ke sana." Ujar Altha mengambil keresek berisi roti tadi. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

******

Seperti yang Altha duga tadi, ndalem sangatlah ramai dengan orang-orang, khususnya para santri baru.

"Intinya setelah nganterin ini gue harus langsung kabur." Gumam Altha pelan, berjalan ke arah garasi samping ndalem. Ia melihat beberapa kakang yang sedang duduk santai di pelataran Mushola.

"Kang!" Panggil Altha agak keras.

Salah satu dari mereka langsung menghampiri Altha. "Nggih Gus kenging nopo?" (Iya Gus ada apa?)

"Ini dari Umi, tolong taruh ndalem ya kang. Saya masih ada urusan soalnya." Ujar Altha seraya memberikan kantong plastik tersebut.

"Ouh nggih, Gus Altha mboten badhe mampir riyin teng ndalem?" (Ouh iya, Gus Altha gak mau mampir dulu ke ndalem?)

"Enggak, kapan-kapan aja. Saya permisi kang." Jawab Altha, lalu setelah itu ia pergi keluar. "Lanjut main game" pikirnya senang begitu keluar dari garasi.

Pukk

"Eh kang, masuk ke dalem bareng yuk."

Altha berhenti, lantas berbalik badan melihat siapa yang menepuk bahunya. Terlihat seorang laki-laki sepantaran dirinya tengah menggendong tas. "Lo siapa?" Tanya Altha sinis.

Laki-laki itu mengulurkan tangannya. "Kenalin gue Ian, santri baru di sini." Ucapnya di sertai senyuman lebar.

"Ouh." Jawab Altha singkat, tanpa menjabat tangan itu. Ia lantas berbalik hendak pergi.

Tiba-tiba sebuah tangan merangkul dirinya. "Ayok anterin gue masuk, kayaknya Lo udah gak asing sama tempat ini. Atau jangan-jangan Lo santri lawas di sini." Ujar Ian bertanya, sambil menarik Altha ke gerbang pondok putra.

Altha melepaskan rangkulan Ian. "Apaan sih Lo, gak jelas." Ujar Altha kesal.

"Ayoklah anterin gue bentar, Lo enggak kasian sama santri baru, gue kan gak tau tempat pendaftarannya di mana?" Ujar Ian lagi, meminta bantuan Altha sekalian ingin mengajak laki-laki itu berteman. 

"Ogah, lagian gue bukan santri sini." Jawab Altha malas. 

Namun dengan kekeh Ian menarik Altha agar Kembali berjalan. "Yaelah kaku amat sih, eh nama Lo siapa gue belum tahu?"  

Altha mendengkus pelan, membiarkan dirinya di tarik ian.. "Altha." 

Mereka berdua diam di sepanjang jalan menuju pondok putra, Altha dengan enggan tetap mengantarkan santri itu, itung-itung membantu seperti yang di suruh sang umi. 

Sampai di gerbang pondok putra, Ian terlihat menghampiri seseorang yang tengah bersandar di tembok samping gerbang. "Halo assalamu'alaikum, salam kenal gua Ian." Ujarnya sambil menyodorkan tangan. 

Laki-laki itu terlihat bingung, tapi tetap menerima sodoran tangan Ian. "Wa'alaikum salam, Gue Zaynal." Ujarnya singkat, lantas melirik seseorang di belakang Ian. 

Ian menoleh ke belakang, menarik tangan Altha agar berdiri sejajar dengannya. "Kalo dia Altha." Ujar Ian mengenalkan Altha. 

"Ouh salam kenal Al, gue Zaynal." 

"Hm." Jawab Altha singkat, ia masih mencerna dengan apa yang terjadi, kenapa ia malah di sini dengan dua santri yang 'aneh' ini. 

"Eh kita berdua mau masuk ke dalem buat daftar, ikut gak? Biar sekalian bareng ayok." Ajak Ian pada Zaynal yang terlihat bingung. 

"Hhh, ayoklah gue juga sedari tadi nunggu ada temen." Ujar Zaynal menerima ajakan Ian. 

Mereka bertiga masuk ke dalam pondok putra, dengan Ian yang berjalan di tengah sambil merangkul Zaynal dan Altha. "Ini kantor putranya di mana Al?" Tanya Ian bingung. 

"Ituu, makanya punya mata di pakek!" Seru Altha agak kesal, niat kaburnya jadi tertunda gara-gara santri satu itu. 

"Ye orang gue gak tau!" Balas Ian sewot.

 "Makanya gue bilang punya mata tuh di pakek!" Balas Altha tak mau kalah.

"Kalian udah berteman berapa lama?" Tanya Zaynal heran melihat interaksi keduanya. 

"Gue enggak berteman sama orang yang baru di kenal." Ujar Altha cepat, menggeleng tegas.

"Ouh tadi, kira-kira 5 menit sebelum ketemu sama Lo." Jawab Ian enteng. 

Zaynal menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lantas mengangguk kecil. 

"Loh Gus Altha ngapain ke kantor?" Tanya seorang kakang pondok yang sedang duduk di depan kantor. 

Altha melirik kedua santri di sebelahnya. "Nganterin nih santri baru, beban banget!" Jawab Altha. 

Kakang itu hanya mengangguk kecil, sudah tidak heran dengan sifat Gus nya. "Mari masuk kang." Ujarnya pada dua santri baru itu. 

Ian memandang Altha takjup. "Ouh ternyata Gus toh." Ucapnya pelan. 

"Kenapa?!" Tanya Altha sewot. 

Ian menggeleng pelan. "Enggak apa-apa, makasih ya Gus udah nganterin." Ucapnya dengan muka sedikit meledek. Lalu setelah itu merangkul Zaynal. "Ayok nal kita masuk, jangan lupa bilang makasih ke Gus Altha." Sambungnya pada Zaynal.

Zaynal berbalik menatap Altha. "Makasih Gus Altha." Ucapnya singkat, menuruti kata Ian. 

"Huuuh, moga aja gue gak ketemu sama mereka lagi." Lirih Altha,  kemudian pergi meninggalkan area pondok untuk kembali pulang dan bermain game. 


******

Lanjut part 2 di hari Rabu besok, info selengkapnya bisa kalian tanya di ig: elkyeee001 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

About you (Cerpen)

  Pagi itu, aku tengah duduk santai di dapur menemani ibu yang sedang membuat sarapan, sesekali aku membantu jika di suruh. Setelah kopi yang aku buat kini tinggal separuh gelas aku langsung beranjak ke teras depan, menyapu halaman rumah yang di penuhi dedaunan pohon mangga. Aku memang pecandu kopi, apalagi di tengah kegiatan sekolah, aku juga seorang penulis, ibaratnya kopi adalah setengah dari jiwaku. Begitu selesai menyapu ekor mataku melihat sebuah mobil silver masuk ke pekarangan rumah di samping, rumah yang selalu kosong dan hanya di kunjungi ketika lebaran tiba, tapi anehnya lebaran kemaren rumah itu juga tetap kosong. Dia yang aku tunggu ternyata tidak pulang. "Ragil pulang tuh kak," ucapan Ibu membuatku tertegun. Dia pulang? Rasanya tidak mungkin. Tapi beberapa menit setelahnya ucapanku terpatahkan begitu melihat sosoknya keluar dari mobil, menatapku dengan senyuman manis dan melambaikan tangan. Tubuhku kaku tak sanggup membalas lambaian itu, hanya bisa tersenyum...

Cerpen - Istirahat Abah

  Aku merasa menjadi anak yang.... Entahlah sulit menjelaskannya. Bahkan untuk sebuah kabar atas kematian ayahku sendiri, aku tidak di beri tahu. Mereka bilang alasannya aku sedang ujian. Namun apakah tidak bisa begitu aku selesai ujian, mereka langsung mengabariku. Aku mendengar kabar itu dari orang lain, bukan ibuku, bukan juga keluargaku, tetapi dari orang lain. Jika saja hari itu aku tak pergi ke kantor Putri, dan malah memutuskan untuk makan. Entah sampai berapa lama mereka menyembunyikan itu dariku.  Sore itu, selepas mengaji klasikal di aula putra. Aku tidak langsung ke dapur untuk mengambil makan. Melainkan ke kantor Putri, meminjam hp untuk menelepon rumah. Jarak antara Jawa dan Lampung memanglah jauh, aku juga belum pernah pulang sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini.  "Abah sama ibu pasti bakalan bangga akhirnya aku lulus, taun besok bisa pulang deh" batinku dengan senang, senyum mengembang terlihat di wajah. Aku melangkah dengan hat...