Pukul dua siang di depan gerbang sekolah kawasan Jakarta Selatan. Aku menunggu dia lebih dari satu jam.
Beberapa menit berlalu, namun dia tak kunjung keluar. Kedua tanganku mulai pegal karena sedari tadi menumpu buket bunga dan kue ulang tahun. Aku Sengaja datang jauh-jauh dari Bandung ke Jakarta untuk memberi kejutan.
Aku meletakkan kue dan juga buket bunga kedalam mobil, memutuskan menghubungi salah satu sahabatnya karena nomornya tidak aktif sejak pagi.
"Cha, Lisa masuk sekolah gak?" Tanyaku melalui telepon, menanyakan kabar Lisa-kekasihku melalui sahabatnya, Icha.
"Masuk kok, memang kenapa?"
"Suruh ke luar sebentar, dong aku di depan gerbang sekolah kalian" ucapku sambil menatap kue dan juga buket bunga di jok belakang.
"Bentar," Jawabnya, samar-samar terdengar suara Lisa juga beberapa laki-laki, mungkin teman sekelas mereka.
"Gimana?" Tanyaku penasaran, sedikit lega karena mendengar suara Lisa yang tampak baik-baik saja, walau terdengar samar.
"Eeee, kata Lisa kamu di suruh balik aja ke Bandung, dia lagi gak mood" jawab Icha suaranya terdengar tidak enak saat mengucapkanya.
Aku menghembuskan nafas kasar, sedikit kesal. "Coba bujuk Cha aku cuma pengin ketemu sebentar."
Lima menit berlalu dan aku masih menunggu jawaban dari Icha. Menatap nanar kue dan buket bunga yang sudah aku siapkan.
Ting Ting
Icha
Aku membaca pesan Icha sambil tersenyum pahit, mengusap wajah frustasi. Sejak seminggu yang lalu Lisa memang sering menghindar, bahkan nomor handphonenya jarang aktif. Dan apa tadi? Lima menit? Padahal aku menempuh jarak tiga jam dan menunggu selama dua jam untuk bisa bertemu dengannya.
Tak lama kemudian dia datang dengan wajah masam, bersama Icha tentunya. "Ngapain ke sini?" Tanya dia dengan tidak bersahabat.
Aku mengangkat sebelah alis heran, merasa kesal. "Gini cara nyapa nya? Padahal aku nunggu kamu lama."
"Aku enggak nyuruh kamu buat kesini! Jadi bukan salah aku kan?!" Jawab Lisa dengan sinis, menatapku dengan jengkel. "Aku sibuk rel, cepet mau ngomong apa?"
Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba meredakan emosi. Tak bisakah dia menghargaiku sebagai pacarnya, bukan malah mengusirku. "Selamat ulang tahun," ucapku sambil memberikan kue dan juga buket bunga, jauh dari ekspetasi yang aku bayangkan karena saat ini aku memberikannya di tengah rasa emosi.
"Makasih, silahkan kamu pulang!" Ucapnya lalu berbalik badan.
Aku terkekeh agak keras, mengajak rambut frustasi. "Lisa! Kalau aku ada salah ngomong, jangan kayak gini!" Ucapku setengah berteriak.
Dia tampak berhenti berjalan berbalik menatapku. "Gak ada." ucapnya sambil menggeleng.
"Hargai aku sebagai pacar kamu, aku rela bolos sekolah demi buat ketemu sama kamu, ngasih kamu kejutan! Jarak Bandung-Jakarta itu tiga jam dan aku juga nunggu kamu selama dua jam di sini!"
"Kalau kamu emang buat kamu nyesel pacaran sama aku, yaudah kita putus aja." ucapnya dengan santai, membuang buket bunga yang aku beri ke tong sampah di dekat dia. "Lagian masih banyak yang lebih baik dari pada kamu."
Aku tercengang seketika mendengar ucapan dia, sudah empat tahun berpacaran dan dengan gampangnya dia bilang putus? Aku mulai menyadari satu hal, hubungan mereka selama beberapa bulan terakhir memang tidak baik-baik saja dan aku merasa menjadi lelaki bodoh selama ini. Aku menatap nanar buket bunga juga kue yang aku bawa kini berakhir di tong sampah.
Malam harinya Icha, sahabat Lisa meneleponku untuk menanyakan kabar, aku juga dengan senang hati menceritakan segala kegundahan selama beberapa bulan terakhir ini.
"Jadi kamu setuju buat putus?" Tanya Icha dari seberang telepon.
"Iya, hubungan aku sama Lisa juga emang udah retak dari beberapa bulan yang lalu," ucap aku sambil memikirkan keputusan yang aku buat beberapa jam yang lalu, putus.
"Kamu yakin rel?"
"Toh dia udah enggak cinta sama aku, lebih baik aku lepasin dia buat orang yang lebih mencintai dia dari pada aku."
"Sumpah kamu baik banget rel, bisa relain Lisa buat orang lain di saat-saat kamu sayang banget sama dia."
Aku selalu di ajarkan untuk melihat suatu masalah dari sisi pandang lain, dan mungkin ini memang yang terbaik untuk aku dan Lisa. Tidak semudah itu memang tapi mungkin akan lebih baik aku merelakannya. "Aku juga bentar lagi ujian, jadi mungkin ini yang terbaik," memang benar saat ini aku berada di kelas tiga SMA dan tiga bulan lagi akan ujian kelulusan.
"Semangat ya buat belajar ujiannya."
"Iya Cha, makasih" jawabku sambil melihat ke arah jam dinding. "Udah malem aku tutup ya, selamat malam Icha."
"Selamat malam, Darrel."
◇◇◇
Sejak hari terakhir itu aku mulai membiasakan diri untuk berkencan dengan laptop dan juga tumpukan buku pelajaran. Mengejar materi untuk ujian kelulusan, karena sebelumnya aku memang sering bolos hanya untuk menemui Lisa di Jakarta.
Dan kini hasilnya cukup memuaskan karena aku lulus dengan nilai terbaik.
Enam bulan sudah berlalu untuk lembar kehidupan yang baru. Aku memang sudah putus kontak dengan Lisa, namun sebaliknya aku dan Icha masih tetap berhubungan, saling menanyakan kabar, saling menyemangati, atau hanya membahas hal-hal yang tidak terlalu penting untuk di bahas. Seperti saat ini, aku sedang berusaha mengganggunya.
"Halo, ada apa rell?" tanya Icha begitu menjawab panggilan teleponku.
Aku tersenyum senang begitu mendengar suara Icha. "Kamu lagi sibuk gak?" ucapku yang memang sedang tidak ada pekerjaan, semua sudah selesai.
"Lagi ngerjain tugas kelompok sih, ouh iya tau enggak rell," Lisa diam, tidak melanjutkan ucapannya.
"Apa?" Tanya Darel penasaran.
"Besok ada konser," Terdengar teriakan dari ujung telefon. "Aku seneng banget tau, dan aku di bolehin nonton sama ayah," ucap Icha dengan antusias, terdengar dari suaranya yang begitu semangat.
"Di daerah mana?" Tanyaku penasaran ingin ikut. Bukan, bukan karena aku suka nonton konser atau tertarik, tapi karena aku mau menemui Icha. Selama ini aku dan Icha memang sebatas berkomunikasi lewat handphone, sudah lama tidak bertemu langsung.
"Kamu mau ikut?" Tanya Icha setengah terkejut saat aku menanyakan tempatnya.
"Pengin tau aja, enggak boleh?"
"Boleh kok, entar aku kirim alamatnya," jawab Icha.
"Oke, aku tunggu."
"Nanti lagi ya rell, temen aku manggil," ucap Icha lalu mematikan panggilan teleponya. Aku lantas keluar dari kamar mencari ibu untuk meminta izin ke Jakarta, menonton konser dengan tujuan untuk bertemu Icha.
Besok malamnya aku berangkat ke Jakarta sendirian. Sampai di tempat konser begitu ramai orang-orang, aku memang memutuskan untuk datang beberapa menit sebelum konser selesai, tujuanku juga bukan untuk menonton tapi menemui Icha. Aku tadi juga sudah menelepon dan bilang menunggu di taman sampai konser selesai, Icha awalnya kaget dan bingung. Tapi aku dengan sengaja langsung mematikan panggilan telepon.
Setengah jam berlalu, aku sudah menghabiskan satu cup kopi mocca float di bangku taman, namun Icha belum juga nampak. Sepertinya menunggu sudah menjadi kebiasaan dalam hidupku. Aku mengambil handphone dan berseluncur dalam dunia internet, hingga ekor mataku menangkap pergerakan dari samping.
Aku menatap Icha yang terlihat kebingungan mencari ku di tengah ratusan orang. Sampai pada akhirnya pandangan kami bertemu, dia pun menghampiriku dengan raut wajah kesal. "Ishh kok gak bilang sih kalau kamu udah liat aku," ucapnya marah sambil mendudukkan badannya di sampingku.
"Hehe, kamu marah?"
"Pakek nanya lagi!" Katanya sambil cemberut.
"Aku minta maaf, tunggu sebentar." Aku beranjak membelikan Icha segelas kopi, karena cuaca sedikit dingin.
"Kamu ngapain ke sini rell?" Dia bertanya sambil meminum kopi yang aku belikan.
"Ketemu kamu."
"Ha? Ngaco kamu. Atau jangan-jangan kamu suka nonton konser?"
"Dari kapan aku suka nonton konser? Tapi kalo sama kamu mungkin aku suka."
"Dih apaan, atau jangan-jangan kamu mau ketemu Lisa?" Tebak dia, raut wajahnya terlihat sedikit suram.
Aku menghela nafas panjang, padahal niatku kesini untuk menemuinya kenapa malah jadi Lisa. "Aku sama Lisa udah enggak ada apa-apa Cha, kamu juga taukan kalo aku udah enggak berhubungan sama dia."
Samar-samar dia tersenyum tipis, aku bisa melihat itu. "Iya, aku cuma bercanda kok. Terus kamu kesini mau ngapain?" Tanya dia.
"Buat ketemu kamu lah," ucapku selembut mungkin.
"Ngapain jauh-jauh ke sini buat ketemu aku?" Tanya dia terlihat heran.
"Ehm, karena kamu cantik dan aku suka." Ucapku sambil mengangkat sebelah alis.
"Gak usah gombal! Gak mempan." Dia menatapku datar, mencoba menahan senyum.
"Beneran deh kamu cantik, apalagi kalau senyum."
Dia terlihat mulai kesal, namun aku tau bahwa dia juga senang. Terbukti dengan senyum malu-malu dan juga rona di pipinya.
"Gak baper!" Bantah dia sambil memalingkan wajahnya.
Aku mendekap kedua pipinya lembut, mengarahkan wajahnya agar menatapku. "Tapi kok pipi kamu merah sih?"
"DAREL!" Teriak dia, terlihat semakin kesal. Menatapku tajam, aku balik menatapnya lembut.
"Dalem, sayang."
Dia terlihat semakin kesal, beranjak meninggalkan aku dengan kaki di hentak-hentakan ke tanah, menggemaskan. Aku mengikutinya dari belakang tanpa mengatakan sepatah katapun, mempercepat langkah hingga akhirnya kita berjalan beriringan. "Kalo aku bilang kangen, kamu percaya gak?" Bisik aku tepat di samping telinganya.
Dia terlihat terkejut, lalu mengangguk. "Sebagai teman kan?"
Aku menahan tangannya agar berhenti berjalan. "Bukan!" Bantahku dengan cepat. "Aku suka kamu Cha, kamu mau enggak jadi pacar aku?" Ucapku cepat, memegang lembut bahunya. Beberapa menit hingga suasana canggung itu mereda, kini kita berdua berada di dalam mobil. "Kamu gak harus jawab sekarang Cha, tapi yang pastinya jangan sampai ucapan aku tadi menggangu pikiran kamu."
Karena cuaca yang semakin dingin, aku mengajaknya untuk masuk mobil terlebih dahulu. Aku memperhatikan wajahnya dengan seksama, dia yang tadinya menunduk kini mendongak menatapku. "Aku gak tau perasaanku gimana rell, aku takut kalo perasaan aku salah."
"Siapa laki-laki yang paling perhatian sama kamu?"
"Kamu."
"Siapa laki-laki yang paling sering kamu kangenin?"
"Kamu."
"Siapa laki-laki yang paling sering buat kamu ketawa?"
"Kamu."
Aku tersenyum lebar. "Kamu mau gak jadi pacar aku?" Ucapku mengulang kalimat tadi, kini lebih yakin dan mantap.
"Kasih aku waktu rell, maaf." Ucapannya sedikit mengecilkan hatiku, takut kalau-kalau ada lelaki lain yang di cintainya. Apalagi dia gadis yang cukup populer di sekolah. Aku terdiam sebentar, berfikir. Ternyata jalan ini tidak semulus apa yang aku pikirkan dan rencanakan jauh-jauh hari.
"Ayo aku anterin pulang." Ucapku, menjalankan mobil di tengah keramaian jalanan kota.
"Maaf rell aku belum bisa kasih kamu kepastian." Ujar dia tampak menyesal.
Aku mengangguk singkat. "Enggak apa-apa, aku paham kok."
◇◇◇
Beberapa bulan sudah hubunganku dan Icha kembali berjalan seperti sedia kala, aku sebisa mungkin tidak mau menyinggung soal perasaan. Kami kembali seperti biasa bercanda dan saling menyemangati. Hari ini adalah hari terakhir ujian kelulusan Icha, niatnya aku akan menyatakan perasaanku kepadanya, lagi.
Pukul sepuluh lebih tiga puluh menit. Aku menunggu dia di depan gerbang sekolah, duduk bersantai di dalam mobil.
Di kursi samping terdapat satu boneka Teddy bear kecil dan juga satu buket bunga. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, bedanya kini aku tidak mengenakan seragam sekolah lagi, juga kini orang yang aku tunggu bukan Lisa. Lima menit berlalu, sudah banyak murid yang keluar.
Setelah agak lama mengedarkan pandangan ke penjuru sekolah. Akhirnya aku menemukan sosok dia yang tengah berjalan keluar gerbang. Seperti halnya tahun lalu Icha keluar bersama dengan sahabatnya Lisa.
Tanganku meraih boneka dan buket bunga yang berada di kursi samping, menatapnya sebentar lalu meyakinkan diri. Baru saja aku hendak membuka pintu mobil, tiba-tiba segerombolan siswa datang ke arah Lisa dan Icha, tepat di samping mobil.
Aku memutuskan menunda untuk keluar sampai mereka benar-benar pergi. Menatap keseruan mereka dari balik kaca jendela mobil. Mataku terbelalak sempurna melihat seorang laki-laki berlutut di depan Icha, entah berbicara apa tapi aku yakin itu hal sama dengan apa yang ingin aku bicarakan.
Tubuhku mematung seketika, rasanya ingin sekali aku keluar dari mobil dan menghampiri Icha tapi itu hanya akan memperkeruh suasana. Karena aku juga tidak tahu apakah Icha mencintaiku atau malah laki-laki lain.
Dari dalam sini aku bisa mendengar seruan teman-temannya, aku menatap sendu seraya berharap dalam hati agar Icha menolaknya. Tapi sepertinya tuhan tidak mengijinkanku bahagia sekarang. Karena detik selanjutnya laki-laki itu menarik Icha kedalam pelukannya, dan para siswa lain bersorak gembira.
Aku memejamkan mata, menahan amarah, dengan tangan mencengkeram kemudi erat. Aku mencoba mengontrol emosi dan mengatur nafas, setelah merasa sudah tenang aku langsung keluar dari mobil dengan membawa buket dan boneka yang aku siapkan.
Begitu keluar dari mobil pandangan mereka langsung teralihkan padaku, dari tatapan kagum hingga heran. Aku dengan santai melambaikan tangan ke arah Icha yang di balas oleh wajah terkejut gadis itu.
"Darell?" Gumam Icha tidak percaya.
Darel berjalan ke arah lelaki yang berada di samping Icha, menepuk pundaknya pelan. "Lo keren bro bisa dapetin cewek sebaik Icha, tapi gue pinjem icha bentar ya," melihat anggukan kecil cowok itu aku langsung tersenyum tipis.
"Rel kamu ngapain ke sini?"
Aku mengangkat sebelah alis, tersenyum lebar sambil menyerahkan buket dan boneka. "Niatnya buat ungkapin perasaan aku, tapi kayaknya itu udah gak berharga lagi deh. Soalnya kamu udah punya cowok." Ucapku dengan sesak, melirik sekilas cowok tadi.
Raut wajah Icha terlihat khawatir dan bersalah, beberapa siswa juga memperhatikan interaksi kami. Aku merasa kehadiranku di pandang sebagai cowok berengsek di sini, apalagi mereka baru saja jadian. "Tapi tenang aja tujuan aku udah berubah kok, sekarang aku cuma mau ngucapin selamat buat kamu."
Icha masih diam di tempatnya menatap Darel dengan raut wajah bersalah, jujur ia memang menganggap laki-laki itu sebagai kakaknya. "Kamu gak marah sama aku rel?"
"Buat apa aku marah, aku malah bahagia liat kamu bareng sama orang yang kamu cintai. Dan aku juga seneng bisa lihat langsung kamu jadi milik orang lain," lirihku dengan tangan mengepal, menahan rasa sakit dan emosi yang menyeruak.
"Maaf rel, tapi kamu masih yang terbaik kok di hidup aku."
Saat Icha mengatakan itu aku langsung menggeleng tegas. "Jadikan dia," tunjuk aku pada cowok di sampingnya. "Lelaki terbaik di hidup kamu, bukan aku."
Aku lihat tangan cowok itu menggenggam tangan mungil Icha dengan erat. "Jaga dia bro, dia terlalu berharga buat di sakiti."
"Makasih bang udah relain dia buat gue," aku mengangguk singkat sebagai jawaban. Jujur dadaku sangat sesak melihat itu semua, terlebih aku sangat mencintai Icha, aku akan butuh waktu yang cukup lama untuk melupakan semuanya.
Aku merupakan seorang penulis quotes tentang percintaan, dan yang selalu aku bilang pada pembaca adalah. "Relakanlah mereka yang tidak mencintaimu, sebesar apapun cintamu kepadanya, karena kita tak akan bisa mengalahkan orang yang sudah mengisi hatinya."
Sulit sekali memang berada di posisi ini, tapi aku ingin menjadi lelaki terbaik versi mencintai seseorang.
"Makasih untuk semua waktunya rel, aku masih salut banget sama kamu karena mengalah demi orang yang aku cintai. Kamu memang lelaki terbaik yang aku kenal." Icha tersenyum manis, lalu segera beranjak pergi bersama teman-temannya membawa buket dan boneka yang aku berikan.
"Setidaknya hadiahku berada di genggamannya, persoalan lain kalo tanganku." gumamku pelan sebelum masuk ke dalam mobil. Untuk kedua kalinya dan kuharap terakhir kalinya aku pergi dari kawasan sekolah ini dengan perasaan hampa.
◇◇◇
Telah di terbitkan dalam sebuah buku antologi cerpen dan masuk dalam kategori 50 karya terbaik dari total 353 karya yang ada.
Komentar
Posting Komentar