Langsung ke konten utama

Masa SMA (Cerpen)

Pagi ini ketika memasuki lingkungan sekolah, keadaan sekitar masih sepi. Aku sengaja berangkat pagi-pagi sekali agar tidak berpapasan dengan siswa lain. Dengan senyum tipis aku menyapa pak satpam yang sedang bertugas, kemudian berlalu menuju kelas. 

Aku mengeluarkan buku bersampul hitam yang terlihat lusuh, membukanya pada halaman kosong, ku biarkan tanganku menari indah di atasnya, meluapkan isi kepala lewat perantara tinta hitam, mengungkapkan segala sesuatu yang tersimpan di benak.  

Tuhan, kenapa dunia seolah begitu kejam kepadaku, dulu aku kira, begitu memasuki masa SMA kehidupanku akan perlahan-lahan berubah, tapi nyatanya sama saja. Bahkan keadaan menjadi lebih buruk melampaui pikiranku saat itu. 

Dulu, aku ingat sekali, seseorang pernah berkata kepadaku. Bahwa kehidupan SMA adalah masa-masa paling indah. Tapi kenyatanya ucapan itu hanya angin lalu, bahkan sekadar teman bicara pun aku tidak punya. Aku sendiri juga tidak mengerti, kenapa mereka menjadikanku musuh, tuhan. 

"Heh cupu!! Lagi ngapain Lo? Bukannya hari ini enggak ada tugas?" Seru seorang laki-laki berbadan tegap, dengan wajah tampan berjalan memasuki kelas. Di belakangnya terdapat dua gadis yang setia mengikuti.

Salah satu dari mereka mendekat ke arahku. "Selamat pagi Valen, btw Lo lagi ngapain nih?" ujar gadis itu, merebut buku di tanganku, membuka lembar demi lembar dengan kasar. 

"ANGKASA SANGAT TAMPAN, AKU INGIN MENJADI KEKASIHNYA." Teriak Angel dengan keras, hingga semua pasang mata kini tertuju pada aku. 

"Huhuuuu!"

"Si cupu ternyata suka sama angkasa."

"Bagaikan butiran debu yang ingin menempel pada berlian."

"Heh Valen sadar diri dong!" 

Aku menghiraukan segala cibiran itu, namun tanpa sengaja aku juga beradu pandang dengan Angkasa, laki-laki yang sempat berbicara padaku tadi, ketika memasuki kelas. 

Rasanya aku ingin sekali melawan mereka, merobek salah satu bibir gadis itu yang telah menyuarakan hal palsu. Sama sekali tak pernah terpikirkan olehku mencintai seseorang seperti Angkasa. 

Laki-laki tidak tahu malu yang menganggap semua gadis cantik adalah kekasihnya. Hanya bermodalkan ketampanan dan kekayaan, layaknya dewa, ia selalu ingin di puja-puja. 

"Agrrhhh."

Kulit kepalaku terasa panas dan juga sakit. Aku tak menyadari bahwa sedari tadi Angel mengincar rambutku, menariknya tanpa aba-aba hingga beberapa helainya berjatuhan di lantai. Dengan gemetar aku memegang tangan gadis itu, membuatnya itu menunduk. 

"Apa? ucapan gue begitu membahagiakan kah? Sampai mata lo berkaca-kaca," ujar Angel tepat di samping telingaku, di akhiri dengan senyuman bodohnya.

"Ada apa itu!" Tegur salah seorang guru yang tiba-tiba masuk, menatap kondisi kelas yang dalam keadaan berantakan. 

Angel langsung mengubah ekspresinya, para siswa yang sedari tadi menonton pun ikut menghadap depan. "Eh bapak, saya lagi bersihin rambut Valen pak, banyak ketombe soalnya," ujar Angel sambil menepuk-nepuk kepalaku. 

"Benar itu Valen?" 

"I-iya pak."

"Yaudah kembali ke tempat duduk kamu Angel." 

"Bye-bye Valen, besok jangan lupa keramas yah." Ucap Angel di iringi kedipan mata. 

Jam pelajaran telah di mulai beberapa menit yang lalu, namun rasa bosan muncul ketika mendengar materi yang di sampaikan, akupun memutuskan menelungkupkan kepala pada lipatan tangan di meja, menutup kelopak mata, dan tertidur. 

Brakkk

Sakit. Aku merasa tubuhku terlempar, sedikit kaku, samar- samar terdengar gelak tawa yang semakin keras. Perlahan-lahan, ketika aku membuka mata, menatap sekeliling ruangan, rasanya sungguh menjengkelkan. 

"Wah princess kita udah bangun, tidurmu nyenyakah tuan putri?" Tanya Angel yang berdiri tidak jauh, jika aku tidak salah mungkin dialah yang menendang mejaku dan membuatku jatuh. Aku berdiri pelan, dan untuk pertama kalinya aku menatap mereka dengan tatapan sengit. Rasanya kali ini aku tak bisa tinggal diam, aku harus melawan mereka. 

"Eh Valen, ternyata tulisan lo bagus juga yah. Bisa nih colab sama Angel buat bikin buku," ujar salah seorang cewek yang berdiri di sebelah Angel, Gita namanya. 

"Kenapa dunia seolah begitu kejam terhadap ku Tuhan." Ucap Gita dengan nada sedih, membaca buku catatanku. "Orang berkata kehidupan sekolah adalah masa-masa yang indah." Sambungnya, lalu tertawa dengan keras. "Kehidupan SMA itu memang indah Valen, kalo enggak percaya lihat aja sekeliling."  

Mendengar ucapan itu aku langsung menatap sekeliling, bagaikan mimpi buruk, kini semua coretan di buku hitamku tertempel di dinding kelas. Di detik itu juga, aku langsung berlari untuk mengambil semua catatan itu, dengan buru-buru. 

"Heh Valen! Percuma Lo ambil kita udah baca semua," ujar Gita sambil memegang sampul buku hitamku.

Aku terdiam sesaat, tanganku terkepal erat. "Tidakkah kalian pernah di ajari untuk tidak menggangu privasi orang!" Seruku lantang, menatap nyalang orang-orang yang ada di kelas. 

Tatapanku lurus tertuju pada dua orang gadis yang sedang melihatku bingung, tak menyiakan kesempatan aku langsung menendang tubuh salah satu dari mereka hingga tersungkur. Aku berdiri, mengambil satu benda secara acak yang ada di meja. 

"Maksud Lo apa hah?!" Ujar Angel emosi, mencoba berdiri dan menatap penuh dendam ke arahku. 

Tamparannya yang sudah setengah jalan aku hentikan dengan menendang tulang kering kakinya. Membuatnya jatuh di lantai, dengan sekuat tenaga aku menancapkan pulpen yang aku dapatkan di meja pada pergelangan tangannya. 

"Agrhh"  darah mulai merembes keluar dari sela-sela pinggir pulpen, aku menutup mata sebentar lalu manarik pulpen itu dengan sekuat tenaga. Membiarkan Angel meraung kesakitan. 

Seeorang memukul kepalaku dari belakang, membuatku sedikit pusing. Aku berbalik badan lantas menusukan asal pulpenku pada tubuh gadis itu, membuatnya menjerit kesakitan.

"VALEN GILA LO!"

Tak membuang kesempatan yang ada, kini aku berganti mendorong Gita keras, membuat gadis itu tersungkur, bergabung bersama Angel. Dengan sisa tenaga aku mengangkat salah satu meja, menghantamkannya pada ruang kosong di antara tubuh dua gadis itu. 

Brakkk

"Wah, Valen udah enggak waras!" 

Dengan nafas terengah-engah aku menatap mereka dengan senyum puas, kemudian kembali menatap sekeliling. "Liat apa kalian!" Seruku sedikit keras. 

"VALEN!" Aku merasakan sebuah benda keras mengenai kepala. 

"Hah iya kenapa pak?" Dengan wajah linglung aku menatap sekeliling, kemudian mengambil spidol yang tadi menimpa kepalaku. 

"Bisa-bisanya kamu tidur di kelas, sana cuci muka dulu," ujar pak guru dengan tatapan galaknya. 

Aku mencoba mencerna apa yang terjadi, mencari buku hitam lusuhku di tas, tidak ada, kemudian aku meraba laci meja, dan ternyata itu ada di sana. "Huh ternyata cuma mimpi," aku memberanikan diri menatap ke belakang. 

"Apa!" Seru Angel dengan wajah songongnya.

"Alangkah senangnya jika aku punya keberanian buat melawan mereka seperti tadi," gumamku pelan, sebelum keluar dari kelas menuju kamar mandi untuk mencuci muka. 


♤♤♤




Komentar

Postingan populer dari blog ini

About you (Cerpen)

  Pagi itu, aku tengah duduk santai di dapur menemani ibu yang sedang membuat sarapan, sesekali aku membantu jika di suruh. Setelah kopi yang aku buat kini tinggal separuh gelas aku langsung beranjak ke teras depan, menyapu halaman rumah yang di penuhi dedaunan pohon mangga. Aku memang pecandu kopi, apalagi di tengah kegiatan sekolah, aku juga seorang penulis, ibaratnya kopi adalah setengah dari jiwaku. Begitu selesai menyapu ekor mataku melihat sebuah mobil silver masuk ke pekarangan rumah di samping, rumah yang selalu kosong dan hanya di kunjungi ketika lebaran tiba, tapi anehnya lebaran kemaren rumah itu juga tetap kosong. Dia yang aku tunggu ternyata tidak pulang. "Ragil pulang tuh kak," ucapan Ibu membuatku tertegun. Dia pulang? Rasanya tidak mungkin. Tapi beberapa menit setelahnya ucapanku terpatahkan begitu melihat sosoknya keluar dari mobil, menatapku dengan senyuman manis dan melambaikan tangan. Tubuhku kaku tak sanggup membalas lambaian itu, hanya bisa tersenyum...

Gerbang pondok

Cerpen - pertemuan Altha, Ian, dan Zaynal Gambar : pinterest H ari itu , Pondok pesantren Assalam ramai dengan para santri baru, padahal sudah lewat satu Minggu pemberangkatan para santri, namun masih saja banyak yang berdatangan telat.  Altha duduk santai di ruang keluarga dengan tenang, sibuk bermain game di handphone. Beberapa hari belakangan ia jarang keluar rumah karena malas bertemu dengan santri dari pondok kakeknya. Mereka selalu saja mencari permasalahan. "Altha, sini bantuin umi bentar." Teriak sang ibu dari dapur. Altha menoleh sebentar, lantas lanjut bermain game. "Bentar umi Altha lagi main game." "Altha sana bantuin umi, kasian ituloh lagi buat kue sendirian!" Sahut seseorang dari belakang Altha, menyambar handphone yang di pegang laki-laki itu. Altha menatap tajam Abahnya. "Abah ish, bentar lagi lah Altha lagi main game." Ujar Altha sedikit kesal. "Al, ibu kamu lagi minta bantuan ituloh. Masa kamu enggak mau bantuin, wah...

Cerpen - Istirahat Abah

  Aku merasa menjadi anak yang.... Entahlah sulit menjelaskannya. Bahkan untuk sebuah kabar atas kematian ayahku sendiri, aku tidak di beri tahu. Mereka bilang alasannya aku sedang ujian. Namun apakah tidak bisa begitu aku selesai ujian, mereka langsung mengabariku. Aku mendengar kabar itu dari orang lain, bukan ibuku, bukan juga keluargaku, tetapi dari orang lain. Jika saja hari itu aku tak pergi ke kantor Putri, dan malah memutuskan untuk makan. Entah sampai berapa lama mereka menyembunyikan itu dariku.  Sore itu, selepas mengaji klasikal di aula putra. Aku tidak langsung ke dapur untuk mengambil makan. Melainkan ke kantor Putri, meminjam hp untuk menelepon rumah. Jarak antara Jawa dan Lampung memanglah jauh, aku juga belum pernah pulang sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini.  "Abah sama ibu pasti bakalan bangga akhirnya aku lulus, taun besok bisa pulang deh" batinku dengan senang, senyum mengembang terlihat di wajah. Aku melangkah dengan hat...