Langsung ke konten utama

James - Kelinci yang malang

James, seekor kelinci kecil dengan bulu berwarna coklat, sedikit perpaduan warna putih, abu-abu, dan hitam. Selayaknya seekor kelinci ia mempunyai telinga yang panjang, mata yang bulat, dan kumis putih yang memikat. 

James hidup sendirian, atau lebih tepatnya itu yang di alaminya sekarang, ia tidak mengetahui dengan pasti apakah ia mempunyai keluarga, saudara, atau teman sekalipun, sebab beberapa waktu yang lalu dirinya terbangun di tengah hutan ini, sendirian, dan tanpa ingatan. 

James menatap sekeliling, memeriksa sekali lagi, pohon-pohon tampak menjulang tinggi, dengan dedaunan yang rimbun, di celah-celahnya sinar matahari masuk menyinari tumbuhan-tumbuhan kecil. 

Dilihat dari posisi matahari, James mengira waktu saat ini adalah sore hari menjelang malam. Ia memantapkan dirinya, berjalan dengan hati-hati, setiap langkahnya menimbulkan bunyi, akibat dedaunan kering dan ranting pohon yang terinjak. 

James berjalan mengikuti naluri, dengan harapan sebelum malam ia bisa keluar dari hutan ini. James berhenti di bawah sebuah pohon besar, ia melihat sekawanan semut sedang mengangkut makanan. 

"Hallo?" Sapa James. 

"Hai, apa yang kau butuhkan tuan kelinci?" Jawab salah seekor semut, bertanya.

"Bisakah kau membantuku, aku tersesat, apakah kau tahu jalan mana yang dapat membawaku keluar dari hutan?" Tanya James. Dengan harapan besar semut itu dapat membantunya. 

Semut merah itu terdiam, berfikir lama, jujur saja semut itu tidak tahu pasti jalan mana yang dapat membawa kelinci itu keluar dari hutan, sebab semasa hidupnya semut itu tinggal di kawasan ini. "Oh tentu saja aku tahu, kau dapat berjalan lurus ke arah sana, tidak jauh nanti kau akan menemukan pemukiman." Jawab semut merah tampak meyakinkan. 

James senang sekali mendengar jawaban itu. "Terimakasih banyak atas informasinya semut merah." Ucapnya penuh rasa terimakasih. 

"Sama-sama." Jawab semut itu, dan kembali membantu kawanannya. 

James memandang arah yang di tunjuk semut dengan mata berbinar, ia mulai melompat dengan lincah, di perjalanan ia berpapasan dengan banyak hewan lain seperti ulat, siput, landak, dan seekor katak hijau kecil, lama ia berjalan tapi pemukiman itu belum juga kelihatan. 

Hari sudah semakin gelap, hanya sisa sedikit cahaya matahari yang menerangi perjalanannya. Semua berjalan baik-baik saja sampai James merasa ada yang aneh, suasana di sekitarnya berubah mencekam, sunyi, di sekelilingnya tidak ada hewan lain, tubuh James kaku. "Ada apa ini?" Tanya James pada diri sendiri. 

Bunyi ranting patah, dedaunan kering yang terinjak tampak terdengar jelas dibelakangnnya. James dengan takut membalikan badan, tidak jauh di belakannya, seekor hewan berkaki empat datang, tubuhnya tegap, dengan wajah garang, mata yang tajam, dan geraman yang keluar dari mulutnya membuat tubuh James gemetar ketakutan. 

Julukan raja hutan itu memang benar, singa tersebut tampak sangat gagah, James baru pertama kali melihatnya. Singa itu menggeram, berjalan dengan yakin ke arah James yang berdiri kaku, matanya yang tajam seolah memberi tahunya bahwa singa itu sudah tidak sabar untuk melahapnya. 

Sinyal bertahan hidup di tubuh James aktif, tat kala singa itu sudah lebih dekat kearahnya, James lari dengan lincah mencari jalan yang kiranya tidak bisa di lewati sang singa. James menatap kebelakang, jarak mereka sangat dekat, bahkan James bisa merasakan nafas singa itu mengenai bulunya. "Siapapun tolong selamatkan aku." Jerit James dalam hati, ia ketakutan setengah mati, tapi tak ingin menyerah begitu saja. 

James terus memaksa berlari walau kakinya sudah lelah, ia tidak ingin mati dengan menyedihkan tanpa mengetahui siapa dirinya, dimana keluarganya, dan bagaimana ia bisa berada di tengah hutan. Masih dengan ketakutan, indra pendengaran James tiba-tiba menangkap kicauan merdu seekor burung, seaakan di komando ia mengikuti asal suara itu. 

Melewati semak-semak berduri, ranting-ranting pohon yang tajam, juga bebatuan di tengah derasnya air sungai. James tiba di belahan hutan lain, ia berhasil kabur dari kejaran si raja hutan, masih mengikuti kicauan burung itu, James berhenti di bawah sebuah pohon. Lihatlah di atas sana, di sebuah ranting pohon, seekor burung kecil, bulat, dengan warna kuning keemasan pada badannya dan abu-abu bercampur putih pada sayapnya, tengah berkicau dengan merdu. 

"H-allo tuan Warbler." James menyapa kaku, membuat burung itu berhenti berkicau. 

"Piko, namaku Piko." Jawab burung Warbler itu, ia menatap James malang. "Apa yang telah kau lalui? Tubuhmu penuh luka." Ucap Piko. 

James membuat wajah bingung tidak mengerti. 

Piko terbang menjauh dari ranting pohon. "Ikuti aku." Ucap Piko pada James. 

James menurut, Piko membawanya ke sebuah danau dan memberi isyarat pada James untuk mendekat ke bibir danau. 

Ah James tahu apa maksud ucapan Piko tadi, beberapa bagian tubuhnya tampak berdarah, mengotori bulu coklatnya yang indah. Sungguh mengenaskan pikir James. "Terimakasih Piko." 

"Untuk apa?" 

"Segalanya, untuk kicauan merdumu yang membuatku terlepas dari kejaran singa dan untuk memberitahuku hal ini." 

Piko tampak kebingungan mendengar ucapan James. "Baiklah, walau aku tak sepenuhnya paham. Selamat tinggal tuan kelinci." Piko terbang menjauh dari danau, menjauh dari James. 

"Tunggu Piko!" 

James berlari mengikuti burung tersebut, warnanya yang keemasan membuat James dalat mengikuti tanpa harus kehilangan arah. Piko hinggap di ranting pohon, membuat James mau tak mau ikut berhenti. Ia mengikuti arah pandang Piko, tertegun, lihatlah di depannya ada sebuah hamparan ladang dengan bunga warna-warni, tampak sangat indah sebab malam ini langit juga cerah, bulan bersinar di angkasa juga para bintang-bintang yang menemani. 

James melangkah lebih dekat, terpukau dengan apa yang ada di depannya. "Sungguh indah." Ucap James. 

"Memang indah, dan akan selalu indah." Sahut Piko dari atas ranting pohon. 

Keduanya terhanyut dalam keindahan yang mereka saksikan bersama. 


Bersambung...




Komentar

Postingan populer dari blog ini

About you (Cerpen)

  Pagi itu, aku tengah duduk santai di dapur menemani ibu yang sedang membuat sarapan, sesekali aku membantu jika di suruh. Setelah kopi yang aku buat kini tinggal separuh gelas aku langsung beranjak ke teras depan, menyapu halaman rumah yang di penuhi dedaunan pohon mangga. Aku memang pecandu kopi, apalagi di tengah kegiatan sekolah, aku juga seorang penulis, ibaratnya kopi adalah setengah dari jiwaku. Begitu selesai menyapu ekor mataku melihat sebuah mobil silver masuk ke pekarangan rumah di samping, rumah yang selalu kosong dan hanya di kunjungi ketika lebaran tiba, tapi anehnya lebaran kemaren rumah itu juga tetap kosong. Dia yang aku tunggu ternyata tidak pulang. "Ragil pulang tuh kak," ucapan Ibu membuatku tertegun. Dia pulang? Rasanya tidak mungkin. Tapi beberapa menit setelahnya ucapanku terpatahkan begitu melihat sosoknya keluar dari mobil, menatapku dengan senyuman manis dan melambaikan tangan. Tubuhku kaku tak sanggup membalas lambaian itu, hanya bisa tersenyum...

Gerbang pondok

Cerpen - pertemuan Altha, Ian, dan Zaynal Gambar : pinterest H ari itu , Pondok pesantren Assalam ramai dengan para santri baru, padahal sudah lewat satu Minggu pemberangkatan para santri, namun masih saja banyak yang berdatangan telat.  Altha duduk santai di ruang keluarga dengan tenang, sibuk bermain game di handphone. Beberapa hari belakangan ia jarang keluar rumah karena malas bertemu dengan santri dari pondok kakeknya. Mereka selalu saja mencari permasalahan. "Altha, sini bantuin umi bentar." Teriak sang ibu dari dapur. Altha menoleh sebentar, lantas lanjut bermain game. "Bentar umi Altha lagi main game." "Altha sana bantuin umi, kasian ituloh lagi buat kue sendirian!" Sahut seseorang dari belakang Altha, menyambar handphone yang di pegang laki-laki itu. Altha menatap tajam Abahnya. "Abah ish, bentar lagi lah Altha lagi main game." Ujar Altha sedikit kesal. "Al, ibu kamu lagi minta bantuan ituloh. Masa kamu enggak mau bantuin, wah...

Cerpen - Istirahat Abah

  Aku merasa menjadi anak yang.... Entahlah sulit menjelaskannya. Bahkan untuk sebuah kabar atas kematian ayahku sendiri, aku tidak di beri tahu. Mereka bilang alasannya aku sedang ujian. Namun apakah tidak bisa begitu aku selesai ujian, mereka langsung mengabariku. Aku mendengar kabar itu dari orang lain, bukan ibuku, bukan juga keluargaku, tetapi dari orang lain. Jika saja hari itu aku tak pergi ke kantor Putri, dan malah memutuskan untuk makan. Entah sampai berapa lama mereka menyembunyikan itu dariku.  Sore itu, selepas mengaji klasikal di aula putra. Aku tidak langsung ke dapur untuk mengambil makan. Melainkan ke kantor Putri, meminjam hp untuk menelepon rumah. Jarak antara Jawa dan Lampung memanglah jauh, aku juga belum pernah pulang sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini.  "Abah sama ibu pasti bakalan bangga akhirnya aku lulus, taun besok bisa pulang deh" batinku dengan senang, senyum mengembang terlihat di wajah. Aku melangkah dengan hat...