Langsung ke konten utama

Inspirasi

Langit tampak semakin gelap, hamparan ribuan bintang menghilang entah kemana, di gantikan gumpalan awan hitam yang bergradasi dengan langit malam. Bau tanah menyengat kala rintikan hujan mulai turun membasahi bumi.

Dengan kesal aku menutup laptop, mengalihkan pandangan pada jalanan ibu kota yang lumayan padat. "Bisa-bisanya nih otak enggak bisa buat mikir kata-kata," desisku dengan kesal. Kiranya sudah 3 bulan lebih aku beristirahat dari dunia kepenulisan, dan kini untuk menulis beberapa kalimat saja rasanya sudah sangat sulit.

"Santai aja, jangan terlalu di paksain." Ujar Sahrul, seorang pelayan caffe yang sedari tadi menemaniku menulis, juga merupakan sahabatku sejak kecil.

"Mata lo santai! Ini naskah buat minggu depan dan belum ada satu paragraf pun yang gue tulis, gila." Aku meneguk cepat coffe yang Sahrul buat.

"Makanya tenang, jangan dikit-dikit ngerasa stres. Lo masih inget kan awal-awal nulis gimana, lo masih kesusahan memilih kata, tapi akhirnya apa? Lo berhasil terbitkan 3 novel untuk saat ini."

Aku merenung mendengarkan ucapan dia, dan semua yang di katakan dia memang benar.

"Intinya lo pikirin dulu, riset, atau gak baca novel deh biar nambah kata. Gue mau balik ke dapur."

"Eh tapi rul," tahanku sebelum Sahrul beranjak pergi. "Bantuin dulu elah!"

"Gue bakal bantuin lo cari inspirasi, tapi besok gak sekarang." Setelah mengucapkan itu Sahrul langsung pergi menuju dapur.

"Awas aja kalo bohong."

"Enggak, beneran gue, tapi besok enggak sekarang."

Setelah kepergian Sahrul aku mengambil novel yang berada di samping laptop. Mungkin ada benarnya apa yang di ucapkan Sahrul, aku harus banyak-banyak membaca terlebih dahulu.

Sedikit flashback ke beberapa tahun kebelakang, tepatnya 5 tahun lalu dimana aku memutuskan untuk menjadi seorang penulis. Saat itu aku baru lulus SMA dan bingung harus bekerja apa? Dan lagi keluargaku hanyalah orang biasa. Tidak ada sama sekali dalam benakku pikiran untuk berkuliah.

Aku ingat sekali, sore itu hampir petang malah. Aku mendatangi Sahrul di caffe ini untuk membantuku mencari pekerjaan.

"Rul bantuin gue, oh ayolah kerjaan apa coba yang bisa gue lakuin?" Ucapku sedikit putus asa.

Sahrul yang saat itu tengah berselancar di dunia internet terdiam, matanya bergantian menatapku dan layar handphonenya. "Lo pengen pekerjaan yang bebas kan? Gak mengikat, dan lo bisa ngendaliin sesuka hati?"

Aku menatap Sahrul sambil mengernyitkan dahi bingung, kemudian mengangguk kecil. "Iya, emang ada yah pekerjaan yang kaya gitu?"

Sahrul menggeser kasar handphonenya agar aku dapat melihat dengan jelas apa yang ada di layar. Sebuah poster lomba menulis cerpen dengan total hadiah 3 juta. "Jangan bilang gak bisa, karena lo belum coba," ucap Sahrul cepat, tak membiarkan sahabatnya protes.

"Bukan gak mau atau gak bisa, tapi emang gak ada bakat." Ucapku pasrah, namun di balik itu semua ada sedikit rasa penasaran menyeruak di hatiku, seakan-akan menyuruhku untuk mencobanya.

Sahrul menghela nafas panjang. "Terserah lo deh, tapi kalo saran gue sih coba aja dulu. Apalagi lo suka banget kan baca buku." Saran Sahrul, kemudian pergi meninggalkan handphonenya, masih memperlihatkan dengan jelas poster lomba tersebut.

Dan akhirnya akupun memberanikan diri mencoba mengikuti lomba itu, cerpen dengan tema Amerta. Walau tidak menang, tapi itu cukup membuatku percaya diri untuk menjadi seorang penulis.

"Andrew! Lo kenapa coba, dari tadi malah ngelamun." Tegur Sahrul dengan menepuk keras bahu sahabatnya itu.

"Hah, enggak. Dah gue mau balik aja lah, besok jangan lupa bantuin gue cari ide, inspirasi, temanya perpisahan untuk selamanya."

Sahrul tersenyum lebar, sedikit tertawa. "Iya, sana balik."

◇◇◇

Tepat pukul satu siang aku pergi ke caffe tempat Sahrul bekerja, entah kenapa sedari tadi ponsel pria itu tidak aktif. Aku menghampiri kasir. "Sahrul mana George?"

"Gak masuk kayaknya, dari tadi di telfon enggak di angkat." Jawab George, teman kerja Sahrul.

"Oh shit, kenapa lagi tuh anak. Mana deadline gue mepet banget lagi," aku duduk di bangku caffe tempat biasa, membuka laptop dan mencoba menulis sebisa mungkin. Mengetikan setiap kata yang terlintas di kepalaku.

Umumnya perpisahan merupakan hal yang di hindari oleh orang kebanyakan. Namun sedikit berbeda denganku, entah mengapa aku berpikir, rasanya sungguh melegakan jika aku dapat berpisah dengan orang-orang di sekitarku.

Aku merasakan getaran di meja, menatap layar handphone dengan sedikit malas, pasalnya baru saja aku fokus tapi malah sudah ada yang mengganggu.

Arul

Drew ini Tante, kamu tolong cepet ke rumah ya, Sekarang.

Aku membaca pesan yang di kirim Sahrul dengan bingung sekaligus heran, tidak biasa Tante Farah mengirim pesan lewat handphone Sahrul.

Aku memasukan barang-barangku ke dalam tas dengan sedikit cepat, meninggalkan uang seratus ribu di meja. "George uang gue di meja, kembaliannya buat besok lagi."

Sesampainya di depan rumah Sahrul, ramai sekali orang. Bahkan beberapa di antaranya menangis di depan rumah, melihat itu pikiranku mulai tidak sinkron. Aku langsung berlari ke dalam untuk mencari Sahrul dan ibunya.

Namun baru saja tiba di depan pintu kakiku lemas seketika, melihat badan Sahrul yang sudah di bungkus kain kafan, aku bingung harus bereaksi apa. Dadaku benar-benar sesak, nafasku mulai tercekat. "Arul? Sahrul! Bangun bego, ngapain lo tiduran kayak gini katanya mau bantuin gue!" sentaku keras, tak sanggup berdiri. 

"Andrew, kamu gak boleh kayak gitu." Tegur seseorang dari belakang, suara lembutnya makin membuatku terasa sesak.

"Tante," melihat raut wajah wanita itu aku langsung memeluknya. "Sahrul ninggalin Andrew."

"Kamu seharusnya bahagia buat dia, Tante juga enggak sedih. Kamu tau? Sahrul udah lama banget menantikan hari ini, hari di mana penderitanya luruh seketika," ucap Farah dengan senyum tipis, walau jauh dalam lubuk hatinya ia merasa sakit yang luar biasa.

Dua jam kemudian, aku masih duduk termenung di bangku. Aku bener-bener lupa bahwa Sahrul mempunyai penyakit anemia aplastik, dan setelah di pikir-pikir lagi mungkin inspirasi yang Sahrul maksud adalah ini. "Lo mikir apa bego! Gak harus kayak gini cara lo bantuin gue." Teriakku frustasi.

Namun sadar-tidak sadar aku mendengar bisikan kecil di telinga, dengan suara yang familiar. "Di banding lo, gue lebih sakit hati Andrew. Karena gue buat kalian semua sedih bahkan nangis, tanpa gue bisa menghibur atau mengusap air mata ibu gue."

"Mungkin saja di sini bukan gue dan Tante Farah yang paling tersakiti, tapi Sahrul. Dia yang buat gue dan Tante Farah nangis kayak gini, tapi hanya untuk sekedar mengusap air mata pun gak bisa." Gumamku lemah, menerawang langit biru yang terlihat cerah.

"Makasih Sahrul karena udah jadi inspirasi gue, lo sahabat terbaik selamanya."


TAMAT




















Komentar

Postingan populer dari blog ini

About you (Cerpen)

  Pagi itu, aku tengah duduk santai di dapur menemani ibu yang sedang membuat sarapan, sesekali aku membantu jika di suruh. Setelah kopi yang aku buat kini tinggal separuh gelas aku langsung beranjak ke teras depan, menyapu halaman rumah yang di penuhi dedaunan pohon mangga. Aku memang pecandu kopi, apalagi di tengah kegiatan sekolah, aku juga seorang penulis, ibaratnya kopi adalah setengah dari jiwaku. Begitu selesai menyapu ekor mataku melihat sebuah mobil silver masuk ke pekarangan rumah di samping, rumah yang selalu kosong dan hanya di kunjungi ketika lebaran tiba, tapi anehnya lebaran kemaren rumah itu juga tetap kosong. Dia yang aku tunggu ternyata tidak pulang. "Ragil pulang tuh kak," ucapan Ibu membuatku tertegun. Dia pulang? Rasanya tidak mungkin. Tapi beberapa menit setelahnya ucapanku terpatahkan begitu melihat sosoknya keluar dari mobil, menatapku dengan senyuman manis dan melambaikan tangan. Tubuhku kaku tak sanggup membalas lambaian itu, hanya bisa tersenyum...

Gerbang pondok

Cerpen - pertemuan Altha, Ian, dan Zaynal Gambar : pinterest H ari itu , Pondok pesantren Assalam ramai dengan para santri baru, padahal sudah lewat satu Minggu pemberangkatan para santri, namun masih saja banyak yang berdatangan telat.  Altha duduk santai di ruang keluarga dengan tenang, sibuk bermain game di handphone. Beberapa hari belakangan ia jarang keluar rumah karena malas bertemu dengan santri dari pondok kakeknya. Mereka selalu saja mencari permasalahan. "Altha, sini bantuin umi bentar." Teriak sang ibu dari dapur. Altha menoleh sebentar, lantas lanjut bermain game. "Bentar umi Altha lagi main game." "Altha sana bantuin umi, kasian ituloh lagi buat kue sendirian!" Sahut seseorang dari belakang Altha, menyambar handphone yang di pegang laki-laki itu. Altha menatap tajam Abahnya. "Abah ish, bentar lagi lah Altha lagi main game." Ujar Altha sedikit kesal. "Al, ibu kamu lagi minta bantuan ituloh. Masa kamu enggak mau bantuin, wah...

Cerpen - Istirahat Abah

  Aku merasa menjadi anak yang.... Entahlah sulit menjelaskannya. Bahkan untuk sebuah kabar atas kematian ayahku sendiri, aku tidak di beri tahu. Mereka bilang alasannya aku sedang ujian. Namun apakah tidak bisa begitu aku selesai ujian, mereka langsung mengabariku. Aku mendengar kabar itu dari orang lain, bukan ibuku, bukan juga keluargaku, tetapi dari orang lain. Jika saja hari itu aku tak pergi ke kantor Putri, dan malah memutuskan untuk makan. Entah sampai berapa lama mereka menyembunyikan itu dariku.  Sore itu, selepas mengaji klasikal di aula putra. Aku tidak langsung ke dapur untuk mengambil makan. Melainkan ke kantor Putri, meminjam hp untuk menelepon rumah. Jarak antara Jawa dan Lampung memanglah jauh, aku juga belum pernah pulang sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini.  "Abah sama ibu pasti bakalan bangga akhirnya aku lulus, taun besok bisa pulang deh" batinku dengan senang, senyum mengembang terlihat di wajah. Aku melangkah dengan hat...