Langsung ke konten utama

Goresan Perasaan (Cerpen)

"ITU SEMUA KESALAHAN KAMU!"

"SELALU SAJA BEGITU, AKU YANG DI SALAHKAN." 

"KARENA KAMU MEMANG SALAH MAS!" 

Aku menutup telinga rapat-rapat di balik tembok kamar dengan pencahayaan redup. Muak mendengarkan pertengkaran mereka yang tiada henti. Luapan emosi mereka selalu meninggalkan goresan-goresan di pergelangan tanganku. Kini aku bingung harus melakukannya di bagian mana, semua sudah penuh, padahal perasaanku belum sepenuhnya tersalurkan. 

Diam-diam aku menyelinap keluar lewat jendela, beruntungnya kamarku berada di lantai satu. Angin malam mulai menerpa tubuhku, begitu aku melangkah ke jalanan hawa dingin mulai menusuk kulit, ku rapihkan sweater, menutupi luka-luka yang ada di tangan. 

Di setiap langkah yang aku ambil, di setiap rumah-rumah yang aku lewati, orang-orang berlalu lalang bagaikan hantu, bergerak tanpa arah. Tidak ada yang memperhatikanku di tengah keramaian kota yang tak kenal lelah, justru akulah yang memperhatikan mereka. 

Menatap sendu sekelompok orang yang sedang bersenda gurau dengan keluarga, sahabat, dan beberapa juga terlihat bersama pasangan mereka. Aku mulai mempertanyakan pada diriku sendiri, kapan aku bisa seperti mereka? 

Sejak kecil aku tinggal bersama kedua orang tua yang sibuk bekerja di pagi hari, dan bertengkar di malam hari. Aku dulu sempat heran, mengapa banyak orang menempatkan rumah sebagai tempat berpulang paling nyaman mereka. Padahal aku sendiri muak berada di rumah, dan apakah masih bisa di sebut rumah, jika untuk sekedar berdiam sejenak di dalamnya saja enggan. Aku sendiri juga tidak tahu persis definisi rumah ternyaman itu seperti apa. 

Kaki ku mulai melangkah tidak tentu arah, malam semakin larut dan keramaian mulai memudar. Aku memutuskan untuk ke salah satu penjual nasi goreng, duduk di bangku. 

"Mau pesen apa kakak cantik?" Seruan itu berasal dari gadis kecil yang sedang memegang kertas catatan, mengumbar senyuman manis. 

Aku membalas senyumannya. "Nasi goreng satu porsi yang pedes ya dek, sama es teh satu." Ucapku menyebutkan pesanan. 

"Di makan di sini atau bungkus kak?" Tanya gadis itu lagi. 

"Makan di sini." Ucapku sambil menatapnya lekat, jika perkiraanku benar umur gadis kecil itu mungkin 10-11 tahun. 

"Tunggu bentar ya kak." 

Aku mengangguk, kemudian beralih menatap sekeliling, sepi. Hanya aku satu-satunya pelanggan di sini, entah kerena sudah terlalu larut atau memang sepi pembeli. Aku duduk termenung, menyaksikan interaksi ibu dan anak yang tengah membuat nasi goreng. 

Tak lama anak itu menghampiri mejaku dengan segelas es teh. "Ini kak minumannya." Ujarnya sambil menyodorkan minuman. "Aku boleh nemenin kakak enggak di sini?" Timpal gadis kecil itu kemudian duduk. 

Aku mengangguk singkat, agak canggung. "Nama kamu siapa?" Tanyaku sambil membenarkan lengan sweater yang sedikit tersingkap. 

"Aku Lisa, kalau nama kakak siapa?" Jawab Lisa seraya balik bertanya. 

Aku berusaha menunjukkan senyuman seramah mungkin. "Aku Vanella." 

"Ih nama kakak bagus." Ucap Lisa antusias, matanya berbinar tertarik. 

Aku tertawa kecil melihatnya. "Kamu kelas berapa? Ini udah malem loh kok belum tidur?" Aku memulai topik pembicaraan lain. 

Wajah gadis kecil itu seketika murung. "Aku gak sekolah kak, ibu gak punya cukup uang buat bayar biayanya. Dan aku memang suka bantuin ibu jualan sampe malem, jadi tidurnya nanti." Ucap gadis itu. 

Aku tertegun, lidahku kelu, bingung hendak mengatakan apa. Untungnya nasi goreng pesanku telah siap, aku cepat-cepat mengambil sendok dan memasukan suapan pertama ke dalam mulut. Namun karena terburu-buru sendok itu malah jatuh ke tanah hingga nasinya berhamburan. 

Aku mengambil sendok yang jatuh di bawah meja, Lisa juga ikut melongokan kepalanya. Tanpa sadar lengan sweaterku lagi-lagi tersingkap ke atas, dan Lisa melihat semua goresan itu. 

"Kak?" Panggil Lisa pelan.

Aku yang sedang membersihkan nasi di baju mendongak. "Kenapa?"

Lisa hanya diam, wajahnya terlihat ragu untuk bicara. "Lengan kakak kenapa?" Ucapnya pelan, sambil menatap pergelangan tanganku. 

"Hah? Ouh enggak apa-apa kok" jawabku santai. 

"Ih enggak baik tau ngelakuin kayak gitu!" Ujar Lisa. 

Aku menatapnya sekilas. "Anak kecil tau apa?!" Balasku agak ketus.

"Nih ya kak," Lisa berpindah duduk di sampingku. "Kakak tuh harus sayang sama diri kakak sendiri, enggak baik tau gores-gores tangan kayak gitu. Enggak ada gunanya juga." Ucap Lisa menasehati, sambil menatapku lekat. 

Aku memandang dia setengah tidak percaya, anak sekecil dia mengucapkan kalimat seperti itu?

"Dengerin Lisa, walaupun kakak punya banyak masalah, jangan lampiaskan luka itu ke diri kakak sendiri." Ucap Lisa bijak. "Setiap orang berhak memiliki kebahagian mereka sendiri, dan jika memang kakak belum menemukannya, maka yang harus kakak lakukan adalah mencari bukan malah menoreh luka." 

Aku lagi-lagi tertegun mendengar ucapannya. "kamu tau kata-kata itu dari mana?" Tanyaku penasaran. 

"Buku bacaan" ujarnya setelah itu tertawa lebar. "Ih bagus kan aku ngerangkai kata-katanya." 

"Haha iya bagus." Aku senang, malam itu aku bertemu seorang gadis kecil yang menghangatkan hati dan sedikit membuka jalan pikiranku. 

Di perjalanan pulang kata-kata Lisa memenuhi kepala, bahkan ketika sampai di rumah pun aku masih memikirkannya. Hingga pada saat aku menaiki kasur, menatap sebuah botol obat kecil yang tergeletak di meja, aku menutup mata sejenak. "Okeh aku bakalan coba buat enggak minum pil itu." Ujarku sambil menyingkirkan obat tidur yang selalu aku minum, ke dalam lemari. 

♡♡♡


Pagi harinya aku benar-benar memutuskan untuk mengubah jalan hidup. Dengan mulai belajar mencintai diri sendiri seperti yang di sarankan Lisa. 

Aku mulai melakukan kegiatan olahraga dengan teratur di pagi hari, mengonsumsi makanan sehat dan sesuai kadar yang pas. Aku juga mulai berhenti meminum obat tidur, menggantinya dengan mendengarkan podcast setiap malam. 

Dalam waktu singkat aku mulai lebih bahagia dan percaya diri, belajar bahwa mencintai diri sendiri bukanlah perkara yang mudah, tapi juga tidak terlampau susah asalkan mau mencoba. 

Malam ini di temani langit malam yang penuh bintang aku mulai kembali menorehkan perasaan pada setiap goresan, bedanya kini medianya bukanlah tanganku, melainkan kanvas putih. Namun beberapa saat kemudian tanganku berhenti, seruan-seruan itu kembali lagi. 

"Lagi-lagi kamu melakukan hal itu mas!" 

"Apalagi yang salah Mia?! Aku baru pulang dari perjalanan bisnis dan kamu malah kayak gini." 

"Aku tahu semuanya mas! Kamu selingkuh kan, jawab mas jawab!" 

Aku melemparkan pensil kesembarangan arah, rasa muak itu kembali datang. Aku diam dengan nafas tak beraturan di dalam kamar, masih menahan untuk keluar. 

Hening.

Aku sedikit bernafas lega, mengira semua permasalahan sudah selesai, namun aku salah. Karena beberapa menit kemudian mereka mengucapkan kalimat fatal. 

"Iya aku memang selungkuh, mau apa kamu?!" 

Yang selanjutnya Vanella dengar adalah isak tangis ibunya. 

"Apa yang kamu tangiskan Mia? Bukannya selama ini kamu tidak mencintaiku? Sudahlah lebih baik kita cerai saja!" 

"OKEH, KITA CERAI." 

Mataku berlinang air mata mendengar pernyataan tersebut, aku menatap lekat cutter yang terletak di meja. Satu-satunya alat yang sering aku gunakan untuk menyalurkan perasaan, langkah kakiku mendekat ke arahnya, tanpa di komando tanganku mengambil benda tersebut. 

"Cukup Van, Lo enggak boleh kayak gini lagi. Lo udah janji bakalan sayang sama diri Lo sendiri!" Ujarku tegas kepada diri sendiri, melempar cutter tersebut ke luar jendela. 

"Lo kuat Van, jauh di banding yang orang lain tau. Sekarang Lo cuma harus keluar kamar dan lerai mereka." Ucapku menguatkan diri sendiri. 

"Lo pasti bisa Van."

Setelah beberapa waktu, aku keluar dari kamar, menghampiri kedua orangtuaku yang sedang di ruang tamu, menandatangani sebuah berkas. 

"Tidak bisakah kalian memikirkan perasaan ku?!" Ucapku parau, berdiri di hadapan mereka. "Pertengkaran kalian sudah cukup merusak mentalku dan kini perceraian kalian mungkin akan merusak jalan hidupku." 

Mereka mendongak menatapku, kemudian tak lama ibu beranjak memelukku. "Maafkan ibu Van, maaf, tapi jujur ibu udah enggak kuat lagi." 

Aku menatap ayah yang tengah menatapku balik dengan khawatir. "Bisakah kalian membatalkannya?" Tanyaku di sela Isak tangis.

Aku melihat ayah menggeleng pelan, juga merasakan gelengan ibu yang tengah memelukku. "LANTAS APA ARTI VANELLA BAGI KALIAN?!" Ucapku marah, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi. 

Ayah beranjak berdiri, ikut memelukku. "Kamu anak kami, sangat berharga untuk kami Van, tapi penceraian kami tidak bisa di membatalkan." 

Aku terisak pelan, mulai mengendurkan pelukan. "Lalu Vanella harus tinggal bersama siapa?" 

Ayah tersenyum kecil. "Kamu bebas menentukan pilihanmu, kamu sudah besar dan bebas memilih jalan kehidupanmu sendiri. Ayah bakalan selalu dukung." 

"Bunda juga bakalan selalu ada untuk kamu, semua pilihan ada di kamu nak." 

Aku terdiam, sesak di dada mulai menguasai. "Vanella mau tinggal di sini, entah sama siapapun itu." Ucapku singkat kemudian balik menuju kamar.

♡♡♡


Sejak saat itu aku mulai hidup sendiri di rumah, ayah dan ibu memilih tempat tinggal baru, aku juga tetap berkomunikasi dengan mereka. Kehidupanku berjalan lebih baik, aku mulai memperhatikan kesehatan mental, mulai membaca buku motivasi, dan telah menemukan hobi baru, membuat sketsa dan lukisan untuk menyaluran perasaan. 


♡♡♡


Cerita telah di terbitkan dalam buku antologi cerpen dengan judul, Caraku Bercerita Tentang Diri Ini. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

About you (Cerpen)

  Pagi itu, aku tengah duduk santai di dapur menemani ibu yang sedang membuat sarapan, sesekali aku membantu jika di suruh. Setelah kopi yang aku buat kini tinggal separuh gelas aku langsung beranjak ke teras depan, menyapu halaman rumah yang di penuhi dedaunan pohon mangga. Aku memang pecandu kopi, apalagi di tengah kegiatan sekolah, aku juga seorang penulis, ibaratnya kopi adalah setengah dari jiwaku. Begitu selesai menyapu ekor mataku melihat sebuah mobil silver masuk ke pekarangan rumah di samping, rumah yang selalu kosong dan hanya di kunjungi ketika lebaran tiba, tapi anehnya lebaran kemaren rumah itu juga tetap kosong. Dia yang aku tunggu ternyata tidak pulang. "Ragil pulang tuh kak," ucapan Ibu membuatku tertegun. Dia pulang? Rasanya tidak mungkin. Tapi beberapa menit setelahnya ucapanku terpatahkan begitu melihat sosoknya keluar dari mobil, menatapku dengan senyuman manis dan melambaikan tangan. Tubuhku kaku tak sanggup membalas lambaian itu, hanya bisa tersenyum...

Gerbang pondok

Cerpen - pertemuan Altha, Ian, dan Zaynal Gambar : pinterest H ari itu , Pondok pesantren Assalam ramai dengan para santri baru, padahal sudah lewat satu Minggu pemberangkatan para santri, namun masih saja banyak yang berdatangan telat.  Altha duduk santai di ruang keluarga dengan tenang, sibuk bermain game di handphone. Beberapa hari belakangan ia jarang keluar rumah karena malas bertemu dengan santri dari pondok kakeknya. Mereka selalu saja mencari permasalahan. "Altha, sini bantuin umi bentar." Teriak sang ibu dari dapur. Altha menoleh sebentar, lantas lanjut bermain game. "Bentar umi Altha lagi main game." "Altha sana bantuin umi, kasian ituloh lagi buat kue sendirian!" Sahut seseorang dari belakang Altha, menyambar handphone yang di pegang laki-laki itu. Altha menatap tajam Abahnya. "Abah ish, bentar lagi lah Altha lagi main game." Ujar Altha sedikit kesal. "Al, ibu kamu lagi minta bantuan ituloh. Masa kamu enggak mau bantuin, wah...

Cerpen - Istirahat Abah

  Aku merasa menjadi anak yang.... Entahlah sulit menjelaskannya. Bahkan untuk sebuah kabar atas kematian ayahku sendiri, aku tidak di beri tahu. Mereka bilang alasannya aku sedang ujian. Namun apakah tidak bisa begitu aku selesai ujian, mereka langsung mengabariku. Aku mendengar kabar itu dari orang lain, bukan ibuku, bukan juga keluargaku, tetapi dari orang lain. Jika saja hari itu aku tak pergi ke kantor Putri, dan malah memutuskan untuk makan. Entah sampai berapa lama mereka menyembunyikan itu dariku.  Sore itu, selepas mengaji klasikal di aula putra. Aku tidak langsung ke dapur untuk mengambil makan. Melainkan ke kantor Putri, meminjam hp untuk menelepon rumah. Jarak antara Jawa dan Lampung memanglah jauh, aku juga belum pernah pulang sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini.  "Abah sama ibu pasti bakalan bangga akhirnya aku lulus, taun besok bisa pulang deh" batinku dengan senang, senyum mengembang terlihat di wajah. Aku melangkah dengan hat...