Langsung ke konten utama

Awal masuk sekolah

 











Ilustrasi lapangan
(Pexels.com/Alfin auzikri)

Cerpen - Pertemuan Altha, Ian, dan Zaynal part 2


Satu Minggu berlalu sejak Altha bertemu dengan dua santri baru 'aneh' itu, dan untungnya ia belum bertemu lagi dengan mereka sampai saat ini.

Pagi ini masa Mos MA Aliyah Assalam di buka, para murid baru berbondong bondong berangkat pagi-pagi sambil membawa barang yang di tentukan. Mereka terlihat antusias sekali untuk masuk sekolah, sangat berbeda dengan Altha yang masih bermalas-malasan di kasur.

"Al bangun, berangkat sekolah cepet." Teriak umi Fadhilah keras, menggedor pintu kamar anaknya.

Altha keluar kamar dengan wajah lusuh. "Umi, Altha baru aja pulang dari ndalem kakek, baru juga selesai setoran dan ngaji, baru tiduran di kasur, dan Altha juga belum sempat tidur dari tadi." Jelas Altha panjang lebar.

Umi tertawa pelan mendengar penuturan Altha. "Yaudah sekarang kamu mandi, abis itu berangkat sekolah, seragamnya udah umi setrika intinya harus berangkat."

Altha menggeleng cepat. "Males, lagian masih Mos juga. Buat apa Altha berangkat, kalo di sana gak ada faedahnya."

"Al!"

"Umi, Altha males lagian Altha udah tau semua penjuru sekolah juga."

"Intinya umi gak mau tau kamu harus berangkat, jangan sampai Abah marah karena nanti gak liat kamu di sekolah!" Ujar umi kesal, meninggalkan kamar Altha.

"Iya umi Altha berangkat ini." Teriak Altha keras, supaya sang umi mendengarnya.

Altha kembali masuk ke dalam kamar, tiduran di kasur sambil bermain handphone sebentar. Ia akan berangkat nanti agak siangan, lagian sekolah itu juga salah satu yayasan yang di pegang ayahnya. Tidak akan ada yang berani menegur atau memarahinya jika ia berangkat telat.

******

Di penjuru tempat lain nampak beberapa santri tengah sibuk berlalu-lalang, sebagian dari mereka tengah mengenakan sepatu untuk berangkat sekolah, sebagian masih bersiap-siap di kamar, satu-dua dari mereka pun ada yang terlihat masih makan.

"Zaynal tungguin gue yah." Teriak Ian dari luar kamar, ia tengah mengancingkan baju seragam Mtsnya dulu.

"Iya cepet." Jawab Zaynal keluar dari kamar, terlihat sudah selesai.

"Iya bentar." Ujar Ian masuk ke dalam kamar, mengambil satu pulpen dan buku tak lupa juga uang saku. Lalu setelah itu kembali menghampiri Zaynal di depan kamar.

Setelah pertemuan pertama mereka di gerbang, mereka akhirnya berteman walau berada di kamar yang berbeda. Mereka berdua juga menemukan beberapa kesamaan satu sama lain, bahkan tadi malam mereka pergi keluar dari pondok bersama secara diam-diam dan kembali pukul 2 pagi.

Sampai di sekolah halaman sudah di penuhi siswa dengan seragam putih-biru, kerena masih harus mengenakan baju Mts. Ian berjalan lebih dulu, memilih duduk di bagian depan, sedangkan Zaynal hanya mengikuti Ian.

"Hadeh sebenarnya gue malah dateng tapi takut di takzir kang Faqih." Ucap Ian sambil mengipasi dirinya dengan tangan.

"Terserah lo aja Ian." Jawab Zaynal terdengar tidak peduli.

"Gini amat punya temen." Gumam Ian pelan, ia memperhatikan sekeliling yang ramai. Para siswa baru di kumpulan di aula samping halaman sekolah.

Acara berjalan dengan lancar sampai di mana para anggota OSIS memilih beberapa siswa agar maju ke depan memperkenalkan diri, dan itu di pilih secara acak. Ian terlihat santai, ia sudah biasa berbicara di depan khalayak ramai.

Zaynal pun juga terlihat santai, ia akan dengan senang hati maju bila di panggil ke depan, bila tidak ya sudah.

"Heh kamu yang bajunya gak di masukan, maju!" panggil salah satu dari mereka kepada Ian.

 "Saya kak?" Tanya Ian memastikan.

"Iya kamu maju, sekalian bawa name tag dan juga topi bola yang sudah di tentukan." Ujar seorang laki-laki lain.

"Hah name tag apaan?" Tanya Ian pada Zaynal.

"Mana gue tahu," ujar Zaynal acuh.

"Heh name tag apaan?" Tanya Ian sedikit keras pada siswa di samping Zaynal.

"Ouh ini, kan tadi malem kang Faqih dah bilang kalo kita suruh buat name tag sama topi dari bola." Ujar santri itu menjelaskan.

Ian melemaskan bahunya pasrah, ia melirik Zaynal singkat lalu berjalan maju ke depan.

"Kan kakak suruh bawa name tag sama topinya, mana?!" Tanya salah satu cewek yang sekarang menatapnya dengan ekspresi datar.

"Maaf kak saya lupa." Ujar Ian santai.

"Kok bisa lupa, kan tadi malem udah di ingetin sama keamanan pondok. Atau emang kang Faqih gak ngumumin?."

"Ini murni kesalahan saya kak, karena tadi malem kang Faqih emang udah bilang." Ujar Ian lagi, tidak mungkin juga ia melimpahkan ini ke kakang pondok.

Cewek tersebut berjalan meninggalkan Ian, terlihat mengobrol dengan temannya yang lain.

"YANG ENGGAK BAWA NAME TAG SAMA TOPI SIAPA?!" Tanya seorang cowok berbadan tegap. "KAN UDAH DI INGETIN SAMA KANG FAQIH TADI MALEM, INTINYA YANG SEKARANG YANG GAK BAWA MAJU KE DEPAN."

Ian menatap Zaynal, dan tak lama kemudian pria itupun mengangkat tangan, maju. "Saya gak bawa kak."

"Kenapa?!"

"Maaf lupa."

"HADEH, INTINYA KAKAK GAK MAU TAU SELAMA TIGA HARI KE DEPAN KALIAN HARUS BAWA NAME TAG ITU, JUGA TOPI BOLANYA. NGERTI?!"

"IYA KAK."

Ian menatap para siswa baru di depannya dengan datar.

"Sekarang kalian berdiri di halaman selama 30 menit, cepetan sana."

Ian menghela nafas panjang, tak sengaja ekor matanya melihat seseorang yang ia kenal berjalan santai di halaman, mengenakan baju yang sama seperti dia.

"Itu Altha kan?" Tanya Ian pada Zaynal.

"Iya."

Mendengar itu senyum Ian mengembang dengan sempurna. "Kayaknya kita bertiga bakalan di hukum bareng deh." Lirih Ian pada Zaynal.

"Harusnya sih gitu."

"Udah sana kalian cepet ke halaman." Ujar OSIS cewek yang tadi memarahi Ian.

Ian dan Zaynal pun berjalan mendekat ke arah Altha yang sedang mengobrol dengan salah satu anggota OSIS.

"Masih ada enggak kak pertanyaannya, saya cape ini mau duduk." Ujar Altha malas, ia melirik singkat dua siswa yang berjalan melewati dirinya.

"Yaudah monggo Gus, besok-besok jangan telat lagi yah." Ujar ketua OSIS itu.

"Siap makasih bapak ketos." Ujar Altha senang, kemudian berjalan ke arah tempat duduk siswa baru.

Ian dan Zaynal yang melihat itu lantas berhenti. "Kok dia gak di hukum kak?" Tanya Zaynal penasaran.

"Bukan urusan kalian, udah sana kalian berdiri."

"Ish gak adil banget, padahal dia telat loh kak. Gak bawa name tag juga." Ucap Ian tidak terima.

"Itu urusan kami bukan kalian." Balas cewek itu.

"WOIII ALTHA SINI, LO TELAT ENAK AJA ENGGAK DI HUKUM." Teriak Ian keras, membuat ia dan para OSIS menjadi pusat perhatian.

Para OSIS terlihat kaget, dan menatap Ian dengan tatapan tajam. Sedangkan Altha hanya menatap Ian dan Zaynal tanpa ekspresi, lalu duduk tanpa menghiraukan mereka.

"Udah enggak usah buat keributan, kalian berdiri di sini. Waktunya kakak tambah 40 menit."

Ian yang sebal melihat Altha duduk pun berlari menghampiri laki-laki itu. "GUE TAU LO ANAK DARI PEMEGANG SEKOLAH INI AL, TAPI BUKAN BERARTI GUE BAKAL BIARIN LO DUDUK ENAK SEDANGKAN GUE DAN ZAYNAL DI HUKUM."

"Gue gak kenal Lo siapa dan gak usah berlagak Lo kenal gue." Ujar Altha malas.

"E-"

"Kita baru ketemu kemaren loh Al, dan Lo dengan sombongnya ngomong gitu?!" Ujar Zaynal dari tengah halaman.

Altha mendengkus malas, kenapa hidupnya sangat tidak tentram setelah bertemu dua santri 'aneh' ini.

Tanpa berpikir panjang Ian menarik tangan Altha ke halaman sekolah, membuat laki-laki itu berdiri di samping Zaynal.

Beberapa anggota OSIS menghampiri mereka. "Udah Gus Altha balik duduk aja." Ujar cewek OSIS yang memarahi Ian tadi.

"Apaan dia salah, wajar dong di sini bareng gue." Bantah Ian cepat.

"Kamu diam!"

"Gus Altha bali-"

Ucapan cewek itu terpotong seruan seorang guru yang baru turun dari motor. "Udah biarin mereka di situ, lagian Altha juga salah karena datang terlambat."

"Maaf Gus" setelah mengucapkan itu para OSIS balik ke aula untuk mengkoordinir siswa baru.

"Sumpah gue benci kalian berdua!!" Sarkas Altha yang sedari tadi diam.

"Gue lebih benci Lo karena bebas dari hukuman." Timpal Zaynal.

"Gue sayang kalian berdua kok intinya kita teman." Ucap Ian sambil bergantian menatap keduanya. Padahal jika di pikir ini semua salahnya karena tadi maju dan tidak membawa name tag dan itu menyeret Zaynal, dan ia pun ikut menyeret Altha untuk di hukum bersama.

"Intinya ini semua salah Lo!"
"Ini salah Lo"

Ujar Zaynal dan Altha barengan.

"Iya gue juga sayang kalian."


******


Komentar

Postingan populer dari blog ini

About you (Cerpen)

  Pagi itu, aku tengah duduk santai di dapur menemani ibu yang sedang membuat sarapan, sesekali aku membantu jika di suruh. Setelah kopi yang aku buat kini tinggal separuh gelas aku langsung beranjak ke teras depan, menyapu halaman rumah yang di penuhi dedaunan pohon mangga. Aku memang pecandu kopi, apalagi di tengah kegiatan sekolah, aku juga seorang penulis, ibaratnya kopi adalah setengah dari jiwaku. Begitu selesai menyapu ekor mataku melihat sebuah mobil silver masuk ke pekarangan rumah di samping, rumah yang selalu kosong dan hanya di kunjungi ketika lebaran tiba, tapi anehnya lebaran kemaren rumah itu juga tetap kosong. Dia yang aku tunggu ternyata tidak pulang. "Ragil pulang tuh kak," ucapan Ibu membuatku tertegun. Dia pulang? Rasanya tidak mungkin. Tapi beberapa menit setelahnya ucapanku terpatahkan begitu melihat sosoknya keluar dari mobil, menatapku dengan senyuman manis dan melambaikan tangan. Tubuhku kaku tak sanggup membalas lambaian itu, hanya bisa tersenyum...

Gerbang pondok

Cerpen - pertemuan Altha, Ian, dan Zaynal Gambar : pinterest H ari itu , Pondok pesantren Assalam ramai dengan para santri baru, padahal sudah lewat satu Minggu pemberangkatan para santri, namun masih saja banyak yang berdatangan telat.  Altha duduk santai di ruang keluarga dengan tenang, sibuk bermain game di handphone. Beberapa hari belakangan ia jarang keluar rumah karena malas bertemu dengan santri dari pondok kakeknya. Mereka selalu saja mencari permasalahan. "Altha, sini bantuin umi bentar." Teriak sang ibu dari dapur. Altha menoleh sebentar, lantas lanjut bermain game. "Bentar umi Altha lagi main game." "Altha sana bantuin umi, kasian ituloh lagi buat kue sendirian!" Sahut seseorang dari belakang Altha, menyambar handphone yang di pegang laki-laki itu. Altha menatap tajam Abahnya. "Abah ish, bentar lagi lah Altha lagi main game." Ujar Altha sedikit kesal. "Al, ibu kamu lagi minta bantuan ituloh. Masa kamu enggak mau bantuin, wah...

Cerpen - Istirahat Abah

  Aku merasa menjadi anak yang.... Entahlah sulit menjelaskannya. Bahkan untuk sebuah kabar atas kematian ayahku sendiri, aku tidak di beri tahu. Mereka bilang alasannya aku sedang ujian. Namun apakah tidak bisa begitu aku selesai ujian, mereka langsung mengabariku. Aku mendengar kabar itu dari orang lain, bukan ibuku, bukan juga keluargaku, tetapi dari orang lain. Jika saja hari itu aku tak pergi ke kantor Putri, dan malah memutuskan untuk makan. Entah sampai berapa lama mereka menyembunyikan itu dariku.  Sore itu, selepas mengaji klasikal di aula putra. Aku tidak langsung ke dapur untuk mengambil makan. Melainkan ke kantor Putri, meminjam hp untuk menelepon rumah. Jarak antara Jawa dan Lampung memanglah jauh, aku juga belum pernah pulang sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini.  "Abah sama ibu pasti bakalan bangga akhirnya aku lulus, taun besok bisa pulang deh" batinku dengan senang, senyum mengembang terlihat di wajah. Aku melangkah dengan hat...