Langsung ke konten utama

Cerpen - Tresno kang Amerta

 






Sejuknya udara sore hari, dengan langit biru yang bergradasi jingga membuatku betah berlama-lama di luar pondok, menyusuri jalan setapak seorang diri. Mengaji di luar lingkungan pondok merupakan kesenangan sendiri bagiku, walau harus pulang-pergi sendirian. 

"Soreee Fatimah, abis pulang ngaji yah?" Terdengar seruan begitu keras dari arah belakang, sapaan yang sudah terdengar familiar di telinganku. Tanpa menggubris sapaan tersebut aku langsung mempercepat jalan. 

"Jangan cuek-cuek dong fat, apa salahnya sih jawab sapaan aku." ucapnya lagi, menjajarkan langkah kakiku.

Aku berhenti sejenak, menundukkan pandangan serendah mungkin. "Sore bang Galang," ucapku datar. 

"Dih masa kek gitu jawab sapaanya, gak ikhlas," ucap Galang dengan senyum tertahan. 

"Bukan gak ikhlas tapi emang bukan muhrim," aku menjawab masih dengan menundukkan pandangan. 

"Ouh gitu, kalo gitu gimana caranya biar kita jadi muhrim," tanya Galang penasaran. 

Refleks aku menatap dia, begitu menyadari apa yang aku lakukan salah, aku langsung beristighfar dan melanjutkan jalan tanpa menghiraukan dia. 

"Kamu gak ada kegiatan apa setiap sore gangguin aku terus?" Tanyaku ketika dia masih tetap berjalan di sampingku menuju pondok.  

Dia menggeleng cepat. "Gak ada."

"Cari kegiatan coba, atau kamu juga bisa ikut ngaji sama anak-anak pondok," saranku. 

"Biar apa coba?" Tanya Galang dengan mengangkat sebelah alisnya. "Eh halo cantik," sapa dia ketika melihat seorang wanita mengendarai motor lewat. 

Aku menghela nafas pasrah, sedikit menyesali pertemuanku dan Galang. Dimana hari itu seperti biasa aku pulang ngaji klasikal sore, dan tanpa sengaja melihat Galang tengah berduaan dengan perempuan, pacarnya. Namun secara kebetulan juga ia dan pacarnya putus saat itu juga, dari sanalah Galang mulai menggangguku ketika pulang mengaji. Aku sendiri penasaran dengan alasan Galang selalu mengikutiku. 

Aku juga tidak terlalu mempermasalahkannya, toh kita berdua juga punya batasan. 

"Fatimah, Fatimah," panggilan Galang membuatku tersadar dari lamunan. 

"Kenapa?" 

"Kenapa kamu gak suka sama aku?" 

"Emang aku pernah bilang gak suka sama kamu?" 

Wajah Galang berseri. "Berarti kamu suka dong sama aku?" 

Aku terkekeh pelan mendengar ucapan Galang. "Aku juga gak bilang kalo aku suka kamu." 

"Terus gimana? Apa yang kurang dari aku sih, aku kaya, aku ganteng, aku juga gak suka mainin perempuan." 

Kali ini aku mulai memberanikan diri menatap wajahnya walau hanya sebentar, cukup ku akui bahwa dia memanglah tampan. Namun bukan itu yang kuharap kan. "Bagaimana bisa kau berharap di cintai oleh seorang hamba, jika kau saja tidak mencintai tuhanmu?" 

Galang mengernyit bingung. "Memang apa hubungannya?" 

Aku tersenyum tipis. "Mulailah cintai dirimu sendiri, perbanyak amal ibadah, serta dekatkan diri pada tuhanmu. Niscaya kau akan mendapatkan cinta yang luar biasa." 

"Cinta yang seperti apa?" 

"Cinta seorang makhluk kepada Tuhannya, karena sesungguhnya itulah makna dari cinta abadi." Setelah mengatakan itu aku langsung masuk ke dalam gerbang pondok meninggalkan Galang seorang diri. 


*****


Do'a penutup yang di ucapkan Abah  d kyai membuat para santri bernafas lega, pasalnya bacaan kitab yang sangat cepat membuat mereka dengan kewalahan mengikuti. Aku merapikan sarung yang terlihat kusut karena di bawa duduk, kemudian sedikit mengintip keluar jendela. Namun, tiba-tiba saja aku malah terpaku pada sosok laki-laki berkemeja putih yang tengah mengkaji fiqih di aula utama. 

Rasanya ucapan kemarin benar-benar membawa hidayah bagi Galang, sampai lelaki itu mau ikut mengaji bersama anak pondok. Padahal awalnya Galang sangat anti dengan pondok. Aku sedikit bersyukur setidaknya Galang sudah mau berubah walau pelan-pelan. 

"Cinta seorang makhluk kepada Tuhannya, merupakan definisi cinta abadi yang sesungguhnya" gumamku pelan, kembali melirik Galang yang ternyata tengah menatapku dengan senyuman lebarnya. 

"Tunggu bentar yah," ucapnya melalui gerakan bibir. 

Aku mengangguk pelan, tanpa menjawab sepatah katapun. Dan pergi keluar untuk menunggu Galang. 

"Fatimah liat nih aku ikut ngaji klasikal sesuai saran kamu," ucap Galang bangga. 

"Syukur atuh, aku kira kamu gak tertarik buat ngaji." 

"Wah jangan remehin gitu dong, gini-gini aku lancar loh baca Qur'annya," ujar Galang membela. 

"Hhm udahlah ayok pulang," ucapku cepat. 

"Yeyyyy pulang bareng Fatimah," seru Galang senang. 

Di wajah yang sedikit aku tundukan, terpancar senyuman tersembunyi di baliknya. 

****

Terimakasih



Komentar

Postingan populer dari blog ini

About you (Cerpen)

  Pagi itu, aku tengah duduk santai di dapur menemani ibu yang sedang membuat sarapan, sesekali aku membantu jika di suruh. Setelah kopi yang aku buat kini tinggal separuh gelas aku langsung beranjak ke teras depan, menyapu halaman rumah yang di penuhi dedaunan pohon mangga. Aku memang pecandu kopi, apalagi di tengah kegiatan sekolah, aku juga seorang penulis, ibaratnya kopi adalah setengah dari jiwaku. Begitu selesai menyapu ekor mataku melihat sebuah mobil silver masuk ke pekarangan rumah di samping, rumah yang selalu kosong dan hanya di kunjungi ketika lebaran tiba, tapi anehnya lebaran kemaren rumah itu juga tetap kosong. Dia yang aku tunggu ternyata tidak pulang. "Ragil pulang tuh kak," ucapan Ibu membuatku tertegun. Dia pulang? Rasanya tidak mungkin. Tapi beberapa menit setelahnya ucapanku terpatahkan begitu melihat sosoknya keluar dari mobil, menatapku dengan senyuman manis dan melambaikan tangan. Tubuhku kaku tak sanggup membalas lambaian itu, hanya bisa tersenyum...

Gerbang pondok

Cerpen - pertemuan Altha, Ian, dan Zaynal Gambar : pinterest H ari itu , Pondok pesantren Assalam ramai dengan para santri baru, padahal sudah lewat satu Minggu pemberangkatan para santri, namun masih saja banyak yang berdatangan telat.  Altha duduk santai di ruang keluarga dengan tenang, sibuk bermain game di handphone. Beberapa hari belakangan ia jarang keluar rumah karena malas bertemu dengan santri dari pondok kakeknya. Mereka selalu saja mencari permasalahan. "Altha, sini bantuin umi bentar." Teriak sang ibu dari dapur. Altha menoleh sebentar, lantas lanjut bermain game. "Bentar umi Altha lagi main game." "Altha sana bantuin umi, kasian ituloh lagi buat kue sendirian!" Sahut seseorang dari belakang Altha, menyambar handphone yang di pegang laki-laki itu. Altha menatap tajam Abahnya. "Abah ish, bentar lagi lah Altha lagi main game." Ujar Altha sedikit kesal. "Al, ibu kamu lagi minta bantuan ituloh. Masa kamu enggak mau bantuin, wah...

Cerpen - Istirahat Abah

  Aku merasa menjadi anak yang.... Entahlah sulit menjelaskannya. Bahkan untuk sebuah kabar atas kematian ayahku sendiri, aku tidak di beri tahu. Mereka bilang alasannya aku sedang ujian. Namun apakah tidak bisa begitu aku selesai ujian, mereka langsung mengabariku. Aku mendengar kabar itu dari orang lain, bukan ibuku, bukan juga keluargaku, tetapi dari orang lain. Jika saja hari itu aku tak pergi ke kantor Putri, dan malah memutuskan untuk makan. Entah sampai berapa lama mereka menyembunyikan itu dariku.  Sore itu, selepas mengaji klasikal di aula putra. Aku tidak langsung ke dapur untuk mengambil makan. Melainkan ke kantor Putri, meminjam hp untuk menelepon rumah. Jarak antara Jawa dan Lampung memanglah jauh, aku juga belum pernah pulang sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini.  "Abah sama ibu pasti bakalan bangga akhirnya aku lulus, taun besok bisa pulang deh" batinku dengan senang, senyum mengembang terlihat di wajah. Aku melangkah dengan hat...