Pagi itu, aku tengah duduk santai di dapur menemani ibu yang sedang membuat sarapan, sesekali aku membantu jika di suruh. Setelah kopi yang aku buat kini tinggal separuh gelas aku langsung beranjak ke teras depan, menyapu halaman rumah yang di penuhi dedaunan pohon mangga. Aku memang pecandu kopi, apalagi di tengah kegiatan sekolah, aku juga seorang penulis, ibaratnya kopi adalah setengah dari jiwaku. Begitu selesai menyapu ekor mataku melihat sebuah mobil silver masuk ke pekarangan rumah di samping, rumah yang selalu kosong dan hanya di kunjungi ketika lebaran tiba, tapi anehnya lebaran kemaren rumah itu juga tetap kosong. Dia yang aku tunggu ternyata tidak pulang. "Ragil pulang tuh kak," ucapan Ibu membuatku tertegun. Dia pulang? Rasanya tidak mungkin. Tapi beberapa menit setelahnya ucapanku terpatahkan begitu melihat sosoknya keluar dari mobil, menatapku dengan senyuman manis dan melambaikan tangan. Tubuhku kaku tak sanggup membalas lambaian itu, hanya bisa tersenyum...
Langit tampak semakin gelap, hamparan ribuan bintang menghilang entah kemana, di gantikan gumpalan awan hitam yang bergradasi dengan langit malam. Bau tanah menyengat kala rintikan hujan mulai turun membasahi bumi. Dengan kesal aku menutup laptop, mengalihkan pandangan pada jalanan ibu kota yang lumayan padat. "Bisa-bisanya nih otak enggak bisa buat mikir kata-kata," desisku dengan kesal. Kiranya sudah 3 bulan lebih aku beristirahat dari dunia kepenulisan, dan kini untuk menulis beberapa kalimat saja rasanya sudah sangat sulit. "Santai aja, jangan terlalu di paksain." Ujar Sahrul, seorang pelayan caffe yang sedari tadi menemaniku menulis, juga merupakan sahabatku sejak kecil. "Mata lo santai! Ini naskah buat minggu depan dan belum ada satu paragraf pun yang gue tulis, gila." Aku meneguk cepat coffe yang Sahrul buat. "Makanya tenang, jangan dikit-dikit ngerasa stres. Lo masih inget kan awal-awal nulis gimana, lo masih kesusahan memilih kata, tapi akhir...